Manusia adalah makhluk beralasan.
Kalimat di atas cukup lama terngiang dalam benak saya, membuat saya trance bukan kepalang mencari makna yang menyimpulkannya. Entah dari mana ia bermula, baru belakangan saya mampu melihat titik terang yang menggairahkan.
Mari kita tengok perilaku manusia (baca: kita sendiri). Mengapa ia muncul? Mengapa saya melakukan sesuatu, dan tidak melakukan yang lain? Mengapa saya memilih satu hal dan membiarkan hal yang lain? Mengapa saya menyukai seseorang dan tidak yang lain?
Pertanyaan-pertanyaan di atas pun menggelayuti pikiran saya hingga berujung pada pertanyaan: Adakah perilaku manusia yang muncul tanpa alasan?
Orang makan karena lapar. Orang tidur karena ngantuk. Orang kerja karena menyambut rezeki. Orang sekolah karena ingin pandai. Orang menikah karena ingin membangun keluarga dan berketurunan. Orang beragama karena ingin damai. Dan seterusnya.
Well, mungkin ada, mungkin tidak. Dianggap tidak pun, ia selalu bisa dicari alasannya. Maka mungkin memang kalimat di atas ada benarnya, manusia adalah makhluk beralasan. Kita perlu alasan untuk berpikir, merasa, dan bertindak. Tanpa alasan, kita akan berhenti. Ah, padahal berhenti pun juga merupakan alasan.
Pertanyaan 'mengapa' ini pula lah yang rupanya mendorong Richard Bandler dan John Grinder membedah model terapi Fritz Perls, Virginia Satir, dan Milton Erickson, hingga melahirkan NLP di akhir dekade 1970-an.
"Mengapa mereka bisa melakukan sesuatu berbeda dari yang lain?"
Lalu dilanjutkan, "Apa perbedaan yang membedakan mereka dari yang lain?"
Dan, NLP pun lahir. Karena alasan. Menggunakan bahasa NLP, alasan adalah bentuk keyakinan yang umumnya berstruktur cause-effect atau complex equivalence (sila baca buku INI bagi yang belum paham). Dan keyakinan, memang berfungsi menaungi berbagai bentuk keterampilan dan perilaku. Sebuah perilaku bisa muncul atau tidak, amat tergantung pada apakah ia masuk dalam daftar yang ada dalam keyakinan yang menuanginya.
Membahas hal ini, saya teringat beberapa kali membantu klien yang setelah diintervensi dengan berbagai cara yang saya anggap ampuh, belum memunculkan hasil yang menggembirakan. Dalam kondisi demikian, salah satu pertanyaan favorit saya kemudian adalah, "Anda percaya Tuhan Maha Sempurna?"
"Tentu," demikian jawaban standar, bahkan dari seorang yang tidak taat agama sekalipun.
"Menurut Anda, mungkinkah Tuhan iseng memberi Anda kondisi ini? Atau mungkinkah ia salah orang, sehingga seharusnya bukan Anda yang menerimanya?" tanya saya kemudian.
"Tidak mungkin."
"Lalu, menurut Anda, dengan ke Maha Sempurna-an-Nya, apa alasan Dia member Anda kondisi ini?" tanya saya dengan sungguh-sungguh.
Cukup sering sesi saya segera berakhir setelah saya mengajukan pertanyaan tersebut. Karena rupanya pertanyaan demikian mengajak seseorang untuk keluar dari kotak masalahnya, menuju sebuah state of mind alam keserbamungkinan. Ia yang tadinya mentok mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi, seketika mendapatkan pencerahan. "Sulit bagi saya menemukan solusi jika saya hanya mengandalkan diri sendiri. Mengapa tidak saya serahkan pada Tuhan untuk membimbing saya? Bukankah ia Maha Mengetahui dan Maha Kuasa?"
Dari titik inilah konsep Self Leadership Mastery berawal. Setiap manusia adalah pemimpin. Maka alasan keberadaan manusia adalah untuk menjadi pemimpin.
Memimpin apa?
Memimpin apa yang dititipkan padanya.
Apa saja?
Semuanya. Jiwanya, tubuhnya, pikirannya, perasaannya. Itu yang paling mendasar.
Saat mulai dewasa dan bersekolah, ia dititipi ilmu.
Loh, kok dititipi ilmu? Ya karena begitu lulus ia dituntut untuk menggunakan ilmunya, dalam bentuk bekerja.
Setelah menikah ia dititipi keluarga, suami/istri, anak, kakak, adik, dan lain lain. Belum lagi ia dititipi tetangga, kawan, karyawan (jika punya perusahaan sendiri), dan seterusnya.
Adakah manusia yang hidup tanpa titipan? Tentu tidak. Maka sangat logis jika setiap manusia adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Persis seperti pemimpin perusahaan yang selalu dimintai pertanggungjawaban oleh pemegang saham.
Sisi lain, dikatakan titipan sebab ia tidak benar-benar memilikinya. Ketika sampai waktunya, setiap hal yang ia miliki akan bisa diambil tanpa bisa ia kontrol. Maka tugas pemimpin memang mengelola titipan agar ia dimanfaatkan menurut keinginan sang pemilik.
Maka sesi pertama "Self Leadership Mastery" adalah sesi saat saya mengajak setiap orang untuk menyelami alasan keberadaannya. Apa saja yang dimiliki? Bagaimana kah ia harus digunakan? Bagaimana kah ia bisa memuaskan Sang Pemilik?
Bagaimana caranya?
Nah, mari kita praktikkan langsung sebuah latihan favorit saya.
Mulailah dengan berdiri di sebuah tempat yang memungkinkan Anda untuk melangkah sebanyak 5 langkah ke belakang.
Pikirkan sebuah situasi yang Anda ingin mempunyai lebih banyak pilihan, yang Anda memiliki keraguan bahwa Anda sudah menggunakan semua sumber daya yang Anda miliki, yang Anda merasa bahwa Anda bukanlah Anda yang sebenarnya. Anda juga bisa menggunakan latihan ini untuk lebih memastikan bahwa Anda sudah menyelaraskan semua sumber daya yang Anda miliki.
Mulailah dengan memikirkan lingkungan di tempat Anda merasakan munculnya masalah tersebut.
Deskripsikan lingkungan tempat Anda berada.
Di manakah Anda?
Siapa saja yang ada di sekeliling Anda?
Apa saja hal yang bisa tandai di tempat ini?
Lihat apa yang Anda lihat, dengar apa yang Anda dengar, dan rasakan apa yang Anda rasa di tempat tersebut.
Ambil satu langkah ke belakang. Biarkan pemahaman Anda tentang lingkungan tadi berada pada tempatnya di hadapan Anda. Kini Anda berada dalam tempat yang membuat Anda memikirkan perilaku Anda.
Nah, sekarang, di tempat ini, dengan tetap memikirkan situasi yang sama, apa saja yang sedang Anda lakukan?
Pikirkan Anda sedang bergerak, mengambil tindakan, dan berpikir.
Pikirkan bagaimana perilaku Anda menyesuaikan diri dengan lingkungan Anda.
Lihat apa yang Anda lihat, dengar apa yang Anda dengar, dan rasakan apa yang Anda rasa demi melakukan hal-hal tersebut.
Ambil satu langkah lagi ke belakang, ke sebuah tempat yang sebentar lagi akan membantu Anda memahami berbagai kemampuan yang Anda miliki.
Pikirkan berbagai keterampilan yang Anda miliki.
Apa saja kah keterampilan itu?
Bagaimana sikap mental yang Anda miliki?
Bagaimana kualitas berpikir Anda?
Kemampuan komunikasi dan interpersonal apa saja yang Anda miliki?
Kualitas apa saja yang Anda miliki yang sejauh ini sudah menjadikan hidup Anda lebih baik?
Hal apa saja—dalam konteks apapun—yang dapat Anda lakukan dengan baik?
Lihat apa yang Anda lihat, dengar apa yang Anda dengar, dan rasakan apa yang Anda rasa demi melakukan hal-hal tersebut.
Melangkah ke belakang lagi, berefleksilah kepada keyakinan dan nilai-nilai yang Anda miliki.
Apa saja yang penting bagi Anda?
Apa saja yang bermakna bagi Anda?
Keyakinan yang membangun apa saja yang Anda miliki terhadap diri Anda sendiri?
Keyakinan yang membangun apa saja yang Anda miliki terhadap orang lain?
Prinsip apa saja yang sangat Anda pegang teguh?
Lihat apa yang Anda lihat, dengar apa yang Anda dengar, dan rasakan apa yang Anda rasa demi melakukan hal-hal tersebut.
Anda bukanlah perilaku Anda, pun bukan pula keyakinan Anda. Ambil satu langkah ke belakang, dan pikirkan keunikan personal Anda, identitas diri Anda.
Apa misi Anda dalam hidup?
Orang seperti apa kah Anda?
Rasakan menjadi diri Anda sendiri sepenuhnya, dan apa yang ingin Anda capai dalam hidup.
Ekspresikan dalam metafora—simbol atau apapun yang muncul dalam pikiran Anda yang dapat menggambarkan diri Anda.
Ambil langkah terakhir, sebuah langkah yang sejenak lagi akan membuat Anda terhubung pada sesuatu yang tak terbatas.
Pikirkan bagaimana Anda terhubung dengan sesuatu yang tak terbatas. Beberapa orang merasakan keterhubungan dengan sesuatu yang begitu besar, jauh lebih besar dari dirinya. Sebuah perasaan terhubung yang menghimpun keseluruhan diri Anda bersama makhluk-makhluk lain, sehingga Anda merasa begitu kecil.
Rasakan perasaan terhubung ini. Metafora apakah yang tepat untuk menggambarkan hal ini?
Ambil perasaan terhubung ini sembari Anda melangkah maju ke lokasi tempat Anda memikirkan identitas diri Anda (satu langkah di depan), dengan tetap mempertahankan posisi tubuh persis seperti pada langkah terakhir . Perhatikan, dengarkan, dan rasakan perubahan yang muncul.
Sekarang, ambil perasaan diri Anda yang baru ini, berikut metaforanya, untuk melangkah ke lokasi tempat keyakinan dan nilai-nilai berada. Pertahankan posisi tubuh Anda seperti sebelumnya.
Apa saja yang penting bagi Anda sekarang?
Apa saja yang Anda yakini sekarang?
Apa yang Anda inginkan untuk Anda anggap penting?
Apa yang Anda inginkan untuk Anda yakini?
Keyakinan dan nilai-nilai apa saja yang menggambarkan identitas Anda?
Ambil perasaan keyakinan yang baru ini dan melangkahlah ke level keterampilan, dengan tetap mempertahankan posisi tubuh sebelumnya.
Bagaimana menurut Anda, keterampilan Anda akan bertransformasi dan semakin meningkat serta semakin dalam?
Bagaimana Anda akan menggunakan keterampilan tersebut dalam level yang paling maksimal?
Pertahankan posisi tubuh Anda, dan melangkahlah ke level perilaku.
Bagaimana Anda akan berperilaku sehingga menggambarkan keselarasan yang sudah Anda rasakan sekarang?
Terakhir, melangkahlah ke tempat Anda pertama kali berdiri, tempat Anda memikirkan lingkungan Anda.
Bagaimana semuanya terasa berbeda ketika Anda membawa keselarasan ini ke lingkungan tempat Anda berada?
Tandai perasaan Anda demi membawa keselarasan ini.
Aha, apa yang Anda rasakan sekarang? Beberapa rekan yang telah melakukannya di kelas-kelas saya biasa mengatakan bahwa mereka merasa memiliki tubuh dan pikiran yang lebih utuh daripada sebelumnya. Semua terasa menyatu dan selaras. Beberapa yang rutin melakukan latihan ini bahkan bercerita bahwa mereka mampu mengambil keputusan baru yang selama ini tidak berani mereka ambil.
OK. Saya akan biarkan Anda untuk mulai berlatih, sendiri atau berpasangan. Dan kita diskusikan kembali apa saja yang Anda dapat setelahnya.