On Wednesday, October 23, 2013 11:55 PM, Bukik Setiawan <bukik_psi@yahoo.com> wrote:
Apa yang anda ingat tentang kisah Malin Kundang? Ingatan masa kecil saya terpaku pada anak yang durhaka pada anaknya. Tapi sekarang berbeda
Maling Kundang pertama kali saya dengar itu ketika duduk di Sekolah Dasar. Ada kisah Malin Kundang di buku pelajaran. Mungkin anda juga mengetahuinya dari sumber yang sama, atau mungkin sudah tahu terlebih dahulu. Seperti kebanyakan anak kecil, imajinasi saya melayang ke jaman dahulu ketika Malin Kundang hidup. Saya membayangkan apa yang terjadi pada saat itu.
Saya membayangkan jadi peran anak dan merasa jengkel mengapa Malin Kundang begitu durhaka sama ibu kandungnya sendiri. Kok ada anak yang begitu tega melupakan ibu yang melahirkannya. Entah kesimpulan saya sendiri atau pelajaran yang disampaikan oleh guru, yang jelas pelajaran yang saya ingat adalah jangan jadi anak durhaka, nanti dikutuk jadi batu.
Sampai kemudian, saya menjadi bapak dari seorang putri bernama Ayunda Damai. Saya sebagaimana bapak yang lain, sayang sama putri saya. Dan sayang pada anak tidak semudah mengucapkannya. Sayang pada anak seperti sebuah perjalanan terjal dan berliku, ada saja kejadian yang menguji kesabaran saya sebagai seorang bapak.
Ketika masih bayi, saya dan mamanya bergadang untuk menjaga agar putri kami bisa tidur nyenyak. Tengah malam bangun, membuatkan susu, mengganti popok, bahkan sampai menggendong berjam-jam agar Damai bisa tidur tenang. Terlebih ketika di rumah kontrakan kami yang beratap asbes sehingga hawa panas menganggu kenyamanan Damai.
Ketika berusia setahun, Damai pun punya hobi yang menguras energi. Sebelum tidur, minta digendong bapaknya. Bukan gendong biasa yang diayun dengan perlahan dan tenang. Tapi digendong dengan iringan lagu rancak seperti Disco Lazy Time, diayun kesana-kemari sampai tertidur antara setengah sampai satu jam. Alhasil, badan pun basah kuyub karena keringat yang mengalir deras.
Ujian demi ujian buat kesabaran orang tua pasti tidak hanya saya saja yang mengalaminya. Orang tua lain pun mengalaminya meski mungkin bentuk ujiannya berbeda-beda. Tantangan terbesar yang saya rasakan adalah bagaimana mengelola kesabaran, bagaimana tetap memandang anak saya sebagai anak baik. Saya berbicara pada diri sendiri untuk meneguhkan keyakinan. Saya ubah lirik lagu yang menyatakan keyakinan saya bahwa Damai anak baik. Banyak lagi caranya.
Saya sayang anak saya bukan karena anak saya bersikap baik. Saya sayang anak saya bukan karena anak saya adalah anak hebat. Saya sayang anak saya bukan karena anak saya punya prestasi luar biasa. Saya sayang anak semata-mata dia adalah anak saya. Dia anak saya adalah alasan yang cukup buat saya untuk terus menyayanginya.
Ujian demi ujian tersebut ternyata kemudian juga mengubah sudut pandang saya. Saya pernah jadi anak, saya punya sudut pandang sebagai anak. Sekarang saya jadi bapak, saya punya sudut pandang sebagai bapak. Sudut pandang yang berpengaruh pada cara saya memaknai kisah Malin Kundang.
Sekarang ketika jadi orang tua mendengar kisah Malin Kundang, saya membayangkan posisi orang tua dan gemes sama sikap ibunya. Kalaupun marah, mengapa sampai mengutuk anaknya jadi batu. Menurut saya, kisah ini sebenarnya adalah kisah buat orang tua, sebenarnya adalah sebuah peringatan bagi saya sebagai orang tua. Sebuah peringatan untuk bersabar dan berprasangka baik pada anak.
Marah itu seperti api. Ketika kecil, kemarahan dapat membersihkan rumput-rumput liar. Tapi ketika tidak terkendali, kemarahan dapat membakar semuanya, termasuk hati seorang anak. Saya membayangkan, kemarahan orang tua yang berlebihan bisa membuat anak menjadi batu, setidaknya hati anak kita membatu. Seperti api yang membakar tanah lempung yang mulanya lunak menjadi begitu keras. Kemarahan yang berlebihan hanya akan menghasilkan sikap yang keras. Semakin sering dimarahi, semakin membatu hati seorang anak.
Dan saya tidak ingin anak saya jadi batu, pun tidak ingin hati anak saya membatu. Senakal apapun, sedurhaka apapun, seorang anak tetaplah anak kita. Ketika (hatinya) membatu, kita sebagai orang tua pasti yang lebih menyesal. Anak mungkin menyesal juga, tapi penyesalan kita sebagai orang tua akan jauh lebih mendalam. Semoga kisah Malin Kundang bisa jadi pelajaran bagi saya, bagi orang tua yang lain, untuk lebih bersabar, lebih penuh kasih sayang, dan tetapberprasangka baik pada anak. Amin.
Apa arti kisah Malin Kundang bagi anda?
Post a Comment