On Behalf Of Harry Uncommon
Spartacus, begitu sangat fenomenal memimpin budak-budak dalam melawan imperator Crassus, yang mewakili penguasa kejam, Republik Roma waktu itu. Spartacus meski akhirnya mati tertombak pasukan Romawi, namun Crassus hampir saja kalah ketika duel satu lawan satu. Spartacus, seorang gladiator pemberani, heroic dan militan hidup tahun 70 SM, ia tak pernah takut mati. Ia selalu maju paling depan. Keterampilannya berperang sangat tinggi. Karakternya pejuang sejati. Ia mempengaruhi perubahan radikal dari status budak menjadi orang merdeka. Di era modern, ia mirip sekali dengan Hugo Chavez presiden Venezuela, pejuang sejati. Chavez menjalankan revolusi Bolivarian. Sepanjang masa kepemimpinannya, ia telah menerapkan konstitusi baru, menasionalisasi sejumlah industri penting, meningkatkan anggaran kesehatan dan pendidikan dan mengurangi tingkat kemiskinan secara besar-besaran. Ia icon pemimpin di Amerika latin.
Spartacus di era lama dan Chavez di era modern, sama-sama bisa menjadi inspirasi radikal bagi pemimpin baru di Indonesia. Mengapa? Menjadi pelajaran bagi kita semua, ternyata kita telah keliru memilih pemimpin yang tepat. Apa yang tepat? Pertama, Indonesia membutuhkan karakter heroic dan militan ala Soekarno yang revolusioner untuk kita bisa merdeka, dari budak secara ekonomi. Kedua, saya rasa kita harus punya optimisme ingin mewujudkan prediksi McKinsey Global Institute bahwa Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi maju tahun 2030 [85 tahun sejak merdeka].
Untuk kebangkitan dan kebanggan Indonesia, kita butuh pemimpin pemberani, heroic-warrior dan militan. Kita tak lagi butuh pemimpin yang biasa-biasa saja. ”Leadership, it is really about you first” kata John Maxwell, pencerah kepemimpinan abad ini. Dan ini sangat kontekstual relevan untuk memberi jawaban akan krisis kepemimpinan bangsa kita. Urutan kriteria kepemimpinan, karakter beres dulu, setelah itu kompetensi dan passion bisa diasah tajam.
Pemberani
Kita sedang menunggu-nunggu negarawan gladiator yang tak takut mati, apalagi hanya rumahnya yang diteror bom. Jika perlu, mobilnya dipasangi bompun, ia tak takut mati demi kebenaran. Ia tahu persis ”where to play?” Ia akan berhadapan dengan banyak musuh dan teman. Pikirannya harus berani, ucapannya harus berani, tindakannya harus benar-benar berani dan pengambilan keputusannya juga super berani. Ia berani luar-dalam. Tony Allan dalam ”Wise Lord of The Sky: Persian myth”, mengatakan pemimpin pemberani harus memakai ”basic instinctnya” untuk menaklukkan, mengalahkan dan menguasai rasa takutnya sendiri. Ia juga tahu, ”what matters most?” Pemimpin pemberani, akan memerdekakan Indonesia dari budaya takut dan tertekan, kemalasan berfikir, pengaturan pihak asing yang tidak adil, lilitan budaya korupsi dan kenyamanan yang sama sekali semu. Ukuran keberhasilannya, ia harus bisa merubah keinginan konsumtif rakyat menjadi karya produktifitas nasional yang tinggi [salah satunya korupsi diberantas habis, hutang luar negeri turun, ekspor naik, PDB naik dan income/capita naik, sampai terjadi pertumbuhan ekonomi riil yang stabil].
Heroic-warrior
Kita butuh eksekutor yang tahu ”how to win?” Ia harus punya strategi untuk membawa dan mengawal perubahan negeri ini sampai berhasil. Oleh karena itu ia harus berani berkorban hidup asketis seperti Jenderal Soedirman dan Bung Hatta ketika melawan Belanda. Ia harus brutal dan nekat, tidak kalem, untuk melawan ”dehumanisasi” bangsa Indonesia. Ia model petarung ”fighting like a lion and a champion," yang memiliki kuku tajam dan terus-terusan lapar. Ia adalah tipe pendebat, pejuang dan penakluk apa saja yang membuat Indonesia terus bodoh, terus miskin, tersandera dan tertinggal. Ukuran heroismenya adalah ia harus berhasil membalikkan keadaan negeri yang hidup dari import menjadi export. Yang hanya mengandalkan kekayaan alamnya menjadi negeri dengan kekuatan SDMnya yang baru. Ciri kekuatan SDM yang baru seperti Jepang, Singapura, Korea dan China, mereka mampu mememenuhi kebutuhannya sendiri, misalnya stop impor kedelai, jagung, beras, susu, garam, gula, terigu dan menggerakkan pertanian yang maju untuk ekspor.
Ia juga harus mengerti ”how to connect?” Hubungannya dengan followernya harus kuat dan menguatkan satu sama lain, karena ia akan mengandalkan kerja bersama dengan para orang dalam yang dapat dipercaya. Ia membutuhkan dukungan kuat dari arus bawah.
Militan
”If your actions inspire others to dream more, to learn more, to do more and to become more, then you are a leader,” John Quincy Adams, eks Presiden Amerika th 1825-1829. Apa yang harus dibuktikan? Bagi yang sudah masuk ”papan atas” bursa calon pemimpin, ia harus mampu dalam 5-6 bulan ke depan menjual dirinya habis-habisan bahwa ia militan terhadap ”first thing first.” Dan ia harus semakin ”gigih” mempertahankan kinerja tingginya, agar dampak kepemimpinannya semakin dirasakan oleh rakyat. Ia harus mempraktekkan ”what impact?” dan ”what focus?” Jim Collins dalam ”Great by Choice,” tahun 2011, menemukan bahwa ”disiplin fanatik” membantu pemimpin korporasi tetap fokus dan berdampak hebat. Saya sependapat dengan George Bradt dalam artikelnya di Forbes.com tentang “the five most important questions for brave leader,” bahwa pemimpin berani harus berdampak dan punya fokus berkaliber tinggi, agar sukses.
Raoul Oberman, Chairman dari McKinsey Global masih percaya terhadap kebangkitan Asia, termasuk Indonesia. Negara Inggris perlu 250 tahun untuk bisa menggandakan produk domestik brutonya. Namun, China hanya perlu 12 tahun untuk melipatgandakan PDB-nya. "Inilah kebangkitan Asia,” analisisnya. Di era ”substantial turn-around” ini, kita tidak lagi bisa menerima pemimpin yang tidak memiliki karakter pemberani, heroic-warrior dan militan. Bangkitlah Indonesia.
Post a Comment