Ada perdebatan tentang gagal atau berhasilnya reformasi birokrasi. Sesungguhnya, Reformasi Birokrasi telah mati sejak awal kelahirannya ketika menjadi komoditi dalam proses tender pengadaan proyek tersebut.
Baru-baru ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden No. 14 Tahun 2010 tentang Pembentukan Komite Pengarah Reformasi Birokrasi dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional. Keputusan Presiden itu akan memberikan landasan struktur, penataan organisasi dan pengaturan serta mekanisme bagi pelaksanaan dan perbaikan reformasi birokrasi nasional yang lebih baik lagi (Kompas, 07/07/10). Apakah langkah ini akan efektif? Bagaimana reformasi birokasi bisa lebih efektif di kemudian hari?
Reformasi birokrasi dapat dipandang dari dua aspek yaitu isi dan proses reformasi birokrasi. Aspek isi berkaitan dengan apa yang akan diubah dalam reformasi birokrasi. Dalam pedoman umum reformasi birokrasi yang dikeluarkan oleh Menpan, aspek ini meliputi arahan strategi, penataan sistem, organisasi, tata laksana, dan sistem pengelolaan SDM, penguatan unit organisasi, penyusunan peraturan serta pengawasan internal. Ini adalah aspek hard dari suatu perubahan. Keberhasilan reformasi pada aspek ini yang akan dirasakan dan berdampak pada masyarakat luas.
Sementara itu, aspek proses berkaitan dengan bagaimana cara reformasi birokrasi di rencanakan, dilaksanakan, diimprovisasi dan dievaluasi. Pedoman umum reformasi birokrasi menyebutnya sebagai manajemen perubahan (change management). Aspek lunak dari perubahan ini meskipun tidak dirasakan langsung oleh masyarakat tetapi menentukan efektivitas perubahan yang dilakukan. Kunci keberhasilan reformasi birokrasi terletak pada pemimpin dan praktisi perubahan mengelola perubahan.
Manajemen perubahan (change management) sendiri bisa dikatakan sebagai perpaduan ilmu dengan seni. Disebut ilmu karena manajemen perubahan melalui serangkaian tahapan sistematis dan pengetahuan akan perubahan organisasi. Disebut seni karena mengelola perubahan itu ibarat peselancar yang sedang meluncur di atas ombak (Jusuf Sutanto, 2009). Tidak ada formula baku bagaimana berselancar yang efektif dan indah.
Bagaimana dengan manajemen perubahan yang terjadi dalam program reformasi birokrasi? Ada dua hal yang akan disoroti yaitu pengadaan dan pelaksanaan manajemen perubahan.
***
Reformasi birokrasi secara umum diperlakukan sebagai sebuah proyek yang pengadaannya dilakukan melalui mekanisme yang biasa dilakukan yakni pengadaan barang dan jasa. Aspek hard dari reformasi birokrasi mungkin bisa dilakukan dengan pengadaan karena lebih terukur dan terstruktur. Sayangnya, manajemen perubahan juga diadakan melalui mekanisme yang sama. Apa konsekuensinya? Rencana dan aktivitas manajemen perubahan disusun di awal perubahan dengan menggunakan kondisi awal suatu instansi. Asumsi implisitnya perubahan bersifat statis sehingga dapat diprediksi, direncanakan dan dikontrol.
Kenyataannya, perubahan merupakan dinamika interaksi multi pihak yang terlibat dalam suatu organisasi birokrasi. Setiap organisasi birokrasi akan mempunyai karakteristik interaksi yang berbeda-beda serta keunikan proses perubahan. Ingat, beda pantai maka beda pula gelombang perubahannya. Manajemen perubahan yang telah dikomoditikan tidak bisa responsif terhadap dinamika perubahan.
Di sisi lain, pengadaan manajemen perubahan melalui proses pengadaan juga sangat riskan. Sebagaimana diketahui, sebagian besar kasus korupsi berujung pangkal pada proses pengadaan. Sebagai gambaran, 27 dari 33 kasus korupsi yang ditangani oleh KPK selama 2006-2007 adalah kasus pengadaan barang dan jasa. Bagaimana kita menyerahkan manajemen perubahan diadakan melalui mekanisme pengadaan?
Pada sisi, pelaksanaan manajemen perubahan ada beberapa hal yang perlu disorot. Pertama, pemisahan antara manajemen perubahan dengan aspek ini dari reformasi birokrasi itu sendiri. Semisal, proyek manajemen perubahan ini terpisah dari proyek renumerasi. Perubahan tidak dikelola berdasarkan proses perubahan yang dilakukan. Manajemen perubahan berjalan di satu rel, perubahan pada aspek hard berjalan di rel yang lain. Bisa bertemu, tetapi lebih sering berjalan sendiri.
Kedua, manajemen perubahan dilakukan dengan cara-cara standar, kering akan kreativitas. Dalam proses sosialisasi, bentuk yang paling sering digunakan adalah seminar dimana narasumber berbicara secara aktif dan peserta mendengar secara pasif. Bentuk sosialisasi yang tidak memicu sense of urgency dari pegawar negeri sipil. Sementara, proses internalisasi banyak mengambil bentuk training. Bentuk training ini sendiri mengasumsikan PNS kurang mampu melakukan perubahan. Padahal, manajemen perubahan sebenarnya lebih fokus pada kesiapan dan komitmen PNS, tidak pada kemampuan.
***
Prioritas pertama dalam melakukan reformasi birokasi adalah mengkaji ulang manajemen perubahan yang dilakukan. Pertama, manajemen perubahan hendaknya ditangani sendiri oleh Kementrian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara. Kemenpan hendaknya berperan sebagai change management specialist dari reformasi birokrasi. Apabila diperlukan dukungan keahlian, Menpan dapat merekrut sejumlah praktisi perubahan organisasi yang dikontrak sebagai tenaga ahli. Tenaga ahli ini bekerja dengan menggunakan sistem manajemen kinerja secara profesional.
Kedua, manajemen perubahan dilakukan secara dinamis dan kontinyu sepanjang tahapan reformasi birokrasi. Praktisi perubahan organisasi yang berperan sebagai tenaga ahli bekerja secara aktif dan melakukan improvisasi kreatif untuk memastikan proses perubahan birokrasi secara efektif.
Tanpa adanya kajian ulang atas manajemen perubahan ini maka reformasi birokrasi hanya akan menghasilkan perubahan diatas kertas. Terlihat tetapi tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia@
Budi Setiawan M.Psi. Penulis adalah Ketua Program Studi (KPS) Magister Perubahan dan Pengembangan Organisasi (MPPO) Universitas Airl angga
Sumber: http://bukik.
Post a Comment