(Memimpin ternyata memang tidak sulit, bagi yang punya komitmen)
Suatu ketika, ada joke ringan yang dilontarkan oleh Saddam Husein ketika ia masih hidup, "Tembak semua pesawat yang melintasi udara Irak, kecuali pesawat Indonesia (karena ada Gus Durnya)." Prajuritnya bertanya: "Kenapa tidak boleh, Tuan Presiden?" "Hmm..pesawat Indonesia suka telat, kalau kita tembak, nanti malah jatuhnya ke negara kita sendiri..!" Prajuritnyapun tertawa terbahak-bahak. Mengapa kita dikenal sebagai bangsa yang telatan, tidak disipiln dan terakhir korup? Kultur yang telatan, tidak disiplin dan korup kalau diramu menjadi satu, tinggal satu akarnya: kemalasan. Kultur korporat, juga kultur bangsa, sangat kuat dipengaruhi dan dibentuk oleh kultur pemimpinnya. Tabiat pemimpin yang malas, otomatis melahirkan citra perusahaan atau bangsa yang malas. Negeri ini ibarat, seorang malas, tapi ingin segera kaya, maka merampoklah ia. Setelah merampok dan benar-benar bisa kaya, lalu tidurlah ia. Ketika ia sedang tidur, ia nampak sehat, meski ia sebenarnya sangat "sakit" (jiwanya dan batinnya). Persoalannya, ia tidak mau mengakui bahwa dirinya sakit. Berpura-puralah ia tetap sehat. Obat (terapi) tidak ia perlukan. Akibatnya sakitnya bertambah parah, karena dibiarkan, lalu ke fase kronis. Teman-temannya berdoa: "Biarkan ia mati dulu, kita kubur rame-rame lalu kita gantikan dia..!"
Jenderal semakin lemah
Teman penggantinya itupun, mewarisi habit lama temannya yang telah mati itu, maunya juga bersenang-senang. Indonesia, lalu ibarat kura-kura malas yang tidak mau melompat jauh. Lihatlah Barack Obama yang bagai macan tutul jantan kuat (leopard) mampu melompat tajam dan menakjubkan. Sebaliknya si pemimpin (jenderal) negeri ini, malahan sibuk belajar bermimpi memiliki rumah besar di tengah hutan. Sehingga ia bisa berlari-lari riang gembira tanpa batas. Padahal ia tahu, ia tidak bisa melompat jauh karena sakit kanker (baca: malas). Kondisi pemimpin semacam ini sebenarnya semakin menunjukkan dirinya bahwa ia sakit. Semakin ia hanya bermimpi, tanpa tindakan, ia semakin lemah. Rakyat itu pandai mengamati.
Apapun yang ia perbuat tetaplah lemah. Kinerjanya lemah, motivasinya lemah, drive untuk berubah terasa loyo, valuenya dipenuhi oleh pementingan diri sendiri. Apakah sosok calon pemimpin kita (si jenderal) masih bisa menunjukkan lompatan besar di 2009 nanti? Banyak rakyat yang sudah merasakan pesimisme besar bahwa pemilu 2009 yang menelan 48 triliun rupiah tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa karena kelemahan UU pemilunya sejak awal (sakit sistemnya). Tanda utama kelemahan si jenderal, kakinya kecil bagai kaki meja, perutnya buncit bagai perut kerbau. Karena pilihan rakyat untuk memilih calon jenderalnya di 2009 tidak akan banyak (batasan UU Pilpres), rakyat akan masuk lagi dalam kotak lama yang sama. Candaan lawan-lawan politik, "Loe lagi, loe lagi..!!" Alias tidak ada wajah jenderal baru yang kuat untuk 2009." Pilkada Jatim yang akan menghabiskan 820 milyar rupiah (hampir 1 triliun) untuk menghasilkan 1 orang gubernur (jenderal), dirasakan rakyat terlalu "costly" untuk mengelola APBD Jatim yang 20 triliun rupiah. Jika dana itu dialokasikan untuk subsidi Rp 100 juta/sekolah yang roboh/rusak di Jatim, bisa menghidupi 8.200 sekolah dengan baik. Namun karena jenderal tetaplah si penikmat kemalasan, maka pesta demokrasi yang mahal itu tidak lagi nampak sebagai pemborosan yang bisa dicegah, melainkan kenikmatan politik.
Apakah jenderal yang terpilih nanti, tidak malas dan rajin melompat untuk menyenangkan hati rakyat? Mungkin tidak! Kura-kura malas yang itu-itu lagi, akan mewarisi anak kura-kura yang malas pula. Meski rakyat berusaha cerdas, agenda perubahan yang ditawarkan calon pemimpin, tetaplah kecil lompatannya. Tidak seperti yang disajikan Barack Obama, si macan tutul yang melompat dengan "change, yes we can" sehingga ia memenangi hati rakyat Amerika secara sangat baik dan sukses. Cobalah simak kehidupan seorang investor terkaya di dunia saat ini. Warren Buffett, ibarat jenderal kuat. Ia masih hidup di sebuah rumah dengan 3 kamar berukuran kecil di pusat kota Ohama, yang ia beli setelah ia menikah 50 tahun yang lalu. Ia berkata bahwa ia mempunyai segala yang ia butuhkan dalam rumah itu. Meskipun rumah itu tidak ada pagarnya. Prinsip hidup sehat si jenderal kuat: "Jangan membeli apa yang tidak dibutuhkan, dan dorong anak Anda berbuat yang sama [don't buy more than what you "really need" and encourage your children to do and think the same]". Lalu apa yang harus kita cermati untuk kepemimpinan mendatang? Idealnya kita memiliki jenderal kuat yang mirip Warren Buffett atau Barack Obama.
Point penting dari situasi ini adalah kita tidak lagi memiliki kemewahan untuk memilih. Pilihan kita benar-benar sangat miskin.
Jenderal harus disembuhkan
Lalu apakah jenderal bisa disembuhkan dari sakitnya agar ia menjadi kuat kembali? Jenderal Sudirman yang satu paru-parunya sakit, tidak bisa bertahan hidup lama. Ia harus meninggalkan bangsanya yang ia cintai Januari 1950 ketika PBB baru saja mengakui kedaulatan penuh kemerdekaan kita.
Harapan kepemimpinan kita kini memang hanya tinggal 2 (dua). Pertama, rakyat harus terus mengefektifkan semua mesin demokrasi (UU Pemilu, media, opini, musyawarah) untuk fokus pada satu hal. Paket UU Pemilu termasuk UU Pilpres misalnya harus direvisi (baca: disusun kembali) pada April 2011. Revisi ini akan turut memulihkan si jenderal dari sakitnya yang kronis dan menjadi kuat kembali. Skenario ini, harus terus didengungkan dengan kencang agar pasukan yang kita miliki nanti terdiri dari jenderal yang kuat (sembuh), dengan letnan yang kuat. Masih ada harapan, meski tipis, untuk mendapatkan keajaiban kesembuhan bagi sang jenderal. Karena jenderal yang kuat dan letnan yang kuat adalah pasukan ideal yang seharusnya dimiliki negeri sebesar ini.
Letnan pengganti yang kuat
Jika jenderal tidak bisa lagi sembuh, harapan apa lagi yang tersisa (baca: kedua)? Pertama, Indonesia menjadi mirip pasukan yang jenderalnya lemah, dan letnannya tidak jelas kuat atau lemah. Satu-satunya harapan tersisa, ada pada letnan yang kuat (pembantu / pengikut / asisten) untuk memperkecil kekalahan. Meski jenderalnya lemah, sosok pembantu pemimpin 2009 nanti haruslah letnan atau srigala-srigala yang kuat. Karena pembantu dan pengikut yang kuat ("ing madya bangun karsa") masih mungkin untuk menyemangati sang jenderal yang melemah. Jika perlu memaksanya untuk "istirahat" dan menyerahkan kedaulatan kepada letnan yang semakin kuat.
Persyaratannya, para kabinet mendatang yang dipilih haruslah atas dasar obyektifitas, kompetensi dan profesionalismenya. Letnan kuat hendaknya selain pandai, mereka juga harus berkarakter. Dua (2) kualitas ini mewakili apa yang pemimpin besar (great leader) dunia biasa miliki. Zig Ziglar motivator kelas dunia yang bijak, memberikan tips stategis bagi para pemimpin: "It is not your aptitude, it is your attitude that determines your altitude." Sikap yang besar bersumber dari kematangan jiwa. Pemimpin yang sikapnya matang, cenderung mengayomi. Dalam memilih letnan kuat, perhatikan baik-baik dan ikuti nasehat agung itu ("attitude is everything"). Jangan mengulang habit lama, mencari menteri yang hanya pandai, tetapi tidak berkarakter. Akibatnya, kita akan mendapatkan jenderal lemah dan letnan lemah. Kedua-duanya sekarang ini malah menjadi penghuni tahanan kejaksaan atau kepolisian.
Ciri dari letnan kuat berintelektual tinggi adalah kepandaiannya dalam memilih alternatif solusi yang tersedia, memilah-milahnya dan memutuskannya dengan bijak dan elegan. Kreativitas dan performannya tidak boleh ketinggalan. Kecerdasan bukan hanya genius, melainkan terampil berjalan dalam badai kebiasaan malas dan bersenang-senang (self-glory) bangsa. Si letnan harus menyelamatkan kultur negeri ini. Ia haruslah menteri kabinet yang jujur dan bermoral kuat. Karena kultur negeri ini masih bisa diperbaiki, melalui karakter yang baik, drive perubahan yang kuat, dan nilai-nilai (value) yang mulia.
Ketika proses suksesi ini berjalan baik, maka letnan kuat akan siap menjadi jenderal kuat di pemilu mendatang, 2014. Jim Collins dalam "Good to Greatnya", tahun 2004 menginspirasi para letnan kuat sbb.: 10 dari 11 perusahaan yang berhasil berubah dari perusahaan baik menjadi perusahaan yang hebat, telah menemukan letnan-letnan kuat yang mampu menjadi jenderal kuat, yang asalnya dari dalam perusahaannya sendiri, bukan merekruit dari luar. Percayalah, meski ini pilihan terakhir (baca: kedua), negeri ini masih sangat bisa menemukan letnan-letnan kuat yang akan menjadi seorang jenderal super tangguh yang membawa perubahan bagi negeri ini. Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) dalam dialog forumnya terakhirnya di Q-TV tanggal 19 Desember 2008, masih percaya & optimis bahwa, ada letnan-letnan kuat "somewhere" yang belum tercemar yang negeri ini miliki. Sehingga tak ada alasan bagi kita untuk tetap merasa mendung, suram, "hopeless", "golput" dan diam saja.