Anak itu masuk ke kelas kami di pertengahan tahun, wajahnya tampan dan tidak banyak bicara. Biasanya anak-anak yang masuk di pertengahan tahun tidak didampingi oleh ibu atau pembantunya, karena mereka sudah cukup dewasa. Tetapi Hasan, yang bertubuh lebih tinggi dari teman-teman sebayanya didampingi oleh seseorang yang belakangan kami ketahui adalah kakaknya, yang sudah kelas lima SD.
Sekalipun kelas kami hanya berlangsung hari Minggu pagi, Hasan cepat sekali menarik perhatian karena ia suka berteriak-teriak tiba-tiba di tengah-tengah jalannya kelas. Kejadian sepert itu membuat semua pasang mata beralih kepadanya. Kecuali satu orang ... kakaknya. Kakaknya akan memeluknya dan berusaha menenangkannya. Kami yang mengajar kelas itu berpikir bagaimana ia bisa tidak malu dengan adiknya itu?
Saat aktivitas mewarnai tiba, Hasan akan berlari-larian di dalam kelas. Hasan belum bisa mewarnai, bahkan ia belum bisa memegang pinsil warna seperti teman-teman TK.B lainnya, jadi ia tidak mau duduk di depan gambar. Pada saat seperti itu hanya kakaknya yang berusaha menangkapnya dan membantunya memegang pinsil untuk mewarnai. Kami seringkali berpikir bukankah seharusnya kakaknya Hasan berkejar-kejaran dengan teman-teman sekelasnya?
Hasan suka sekali coklat, tapi ia tidak mengerti mengapa ia tidak boleh makan remah-remah kue coklat yang jatuh ke lantai dan sudah diinjak-injak oleh anak-anak. Kalau semua orang melihatnya dengan jijik, kakaknya dengan sabar menerangkan kepada Hasan berkali-kali, yang mungkin tidak akan pernah peduli seperti angin yang masuk kiri keluar kanan. Kami juga berpikir betapa sabarnya kakaknya Hasan, lebih dari guru Hasan sendiri.
Waktu setengah tahun sangat cepat berlalu. Anak-anak harus mulai pindah kelas ke kelas satu. Tapi Hasan pindah ke kelas Anak Berkebutuhan Khusus yang baru saja di buka tahun itu, karena disitulah tempat anak-anak Autis dan ber IQ kurang dan kakaknya Hasan pergi ke kelas enam, dimana ia seharusnya. Kami melambai-lambaikan tangan pada anak-anak, tapi kami tidak sempat melambaikan tangan kepada kakaknya Hasan. Kami terharu melihat anak-anak yang sepertinya tiba-tiba bertambah besar, tapi kami rindu pada melihat kakaknya Hasan. Ia pastinya tidak mengerti tentang job desc atau tugas dan tanggung jawab secara tertulis. Tapi ia tahu pasti apa artinya menjadi seorang 'kakak'. Ia akan melakukan seluruh upaya untuk melaksanakan apa yang ia pikir sebagai tanggung jawab seorang kakak.
Saya membayangkan saat hari perpisahan itu seisi langit berhenti bekerja, melihat ke bawah kepada kakaknya Hasan dan berkata, 'disinilah seorang kakak yang agung berada'. Peristiwa itu sudah lama terjadi, tapi kami tidak pernah bertemu lagi dengan kakaknya Hasan, dan kami tidak mengenal namanya, karena yang kami kenal adalah adiknya. Pepatah mengatakan guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Andaikata ada tanda jasa, kami merasa, kakaknya Hasan jauh lebih berhak daripada kami.
Ditulis oleh Jusak
Post a Comment