Oleh: Andre Vincent Wenas,MM,MBA.
Itu adalah kata pembukaan orasi dari senator Cicero saat berdebat melawan Catilina, seorang politikus Roma di hadapan Senat Romawi tahun 63 SM. Oh zaman apakah ini! Akhlak macam apakah ini! Kutipan lengkapnya seperti ini: "O tempora! O mores! Senatur haec intellegit, consul videt; hic tamen vivit. Vivit? Immo vero etiam in senatum venit, vit publici consili particeps, notat et designat oculis ad caedem unum quemque nostrum. Nos autem, fortes viri, satisfacere rei publicae videmur, si istius furorem ac tela vitamus. Ad mortem te, Catilina, duci iussu consulis iam pridem oportebat, in te conferri pestem, quam tu in nos machinaris."
Artinya: Oh, zaman apakah ini! Oh, akhlak macam apakah ini! Senat sudah mengetahuinya, Konsul sudah melihatnya; namun orang ini (Catilina) masih juga hidup. Dia itu sungguh hidup? Ya, dia bahkan datang ke Senat, dia ikut serta merumuskan kebijakan publik, dengan pandangan matanya dia mencatat dan menentukan setiap orang dari kita semua untuk dibunuhnya. Sementara kita ini, orang-orang yang gagah berani, tampaknya sudah puas dengan mengurus kepentingan umum apabila kita berhasil menghindari kegilaan dan senjata orang ini. Dan engkau, Catilina, seharusnya sudah sejak lama, atas perintah Konsul, bencana kematian yang telah kau rancang untuk kami semua, ditimpakan kepadamu (dikutip dari Proverbia Latina, 2006).
***
"Marketing is not just one of the most important ideas in business. It has become the most dominant force in human culture," begitu ujar Geoffrey Miller (dalam bukunya Spent: Sex, Evolution, and Consumer Behavior, Penguin Books, New York, 2009). Di jaman ini, hampir semua produk yang kita beli telah melalui suatu bentukan proses pemasaran tertentu. Para pemasar di era mutakhir ini terus berpikir keras untuk mencari jalan bagaimana menjual produk yang bakal semakin membahagiakan kita. Proses produksi bukan semata dipicu oleh angka pencapaian profitabilitas produk pada semester yang lalu, namun lebih di-drive oleh
pelbagai riset empiris tentang preferensi dan personalitas manusia, termasuk juga penghayatan dan pendalaman lewat riset kualitatif consumer-insight.
Ekonomi nampaknya tidaklah diatur diam-diam oleh "tangan tak terlihat" (the invisible hands) ala Adam Smith, tetapi lebih karena rekayasa canggih melalui teknologi pemasaran para global-marketer di perusahaan-perusahaan transnasional. Hasrat manusia digiring ke arah pemujaan tanda (simbol) dewa-dewi jaman modern atau post-modern. Logo dan merek (brands) menjadi ideologi (diterima kebenarannya tanpa kritik). Dan yang dalam perspektif posmo, kebenaran itu tidak ada yang tunggal. Dengan mengideologikan merek-merek ini, proses penjualan telah dilapangkan jalannya, fanatisme (cara melihat dunia dengan kacamata kuda) telah menjadi cara pandang konsumen terhadap realitas dunianya. Tempat-tempat "ibadah" post-modern (mall, plaza, square, centre, situs internet, dll) telah menjadi suatu lokasi (place and space) dimana para jemaat merek (brand) mereguk kesegaran rohaniahnya paling tidak seminggu sekali. Di dalam mall ada banyak stasi-stasi dimana jemaat post-modern bisa berhenti sejenak untuk mendapatkan visi tentang citra dirinya di masa depan (jika membeli dan memakai merek dari stasi tertentu itu), meng-amin-inya, lalu bergerak ke stasi-stasi berikutnya demi mendapat "pencerahan" lebih lanjut. Begitulah ritual masyarakat pemuja merek mengolah kerohaniannya setiap minggu. Kalau perlu, sekali waktu diadakan semacam "kebangunan rohani" pemasaran (baca: Mega Sale! Diskon 70%), ala Crocs misalnya, yang telah berhasil membuat ribuan orang (tua-muda, pria-wanita) berbaris antri – beratus-ratus meter di dalam mall! – dengan tertib dan khusyuk demi memperoleh "berkat" dari merek sandal modis itu.
***
Halaman depan media massa kita beberapa waktu ini terus didominasi oleh kisah para pejabat yang tertangkap terang-terangan mengumbar hasratnya libidinal
dalam pelbagai kasus: Anggoro, Antasari, kasus Gayus serta rangkaiannya, Melinda, kasus Nurpati, sampai ke kasus Nazaruddin yang menyeret-nyeret anggota dewan perwakilan kita ke dalam transaksi pasar buah (apel Malang, apel Washington) yang rupanya adalah kata ganti benda untuk uang rupiah dan uang dollar, walahuallam! Mentalitas menerabas ke jalan pintas, tidak lagi menghargai proses, ketekunan dan disiplin, rasanya telah endemik di jaman ini. Mengapa kita semua bisa sampai di persimpangan jalan (tepatnya: kubangan) seperti ini? O tempora! O mores! Pertanyaan sederhana ini, dengan sedikit perenungan yang berjarak, bisa menjadi eksistensial.
Jika marketing begitu sentral perannya dalam kebudayaan manusia jaman modern, tentu ia membawa tanggung jawab sosial yang juga semakin besar. Dalam
konteks ini, kita sepakat bahwa etika pemasaran menjadi imperatif. Minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin.
--------------------------------------------------------------------------------
(artikel dari Majalah MARKETING edisi September 2011)
Post a Comment