Jika Anda punya uang dan ingin memberikan sumbangan Rp 1 juta per bulan atau 12 juta per tahun; lebih baik sumbangan itu diberikan kepada orang yang sudah kaya (yang punya mobil) atau kepada kaum dhuafa yang miskin (beli motorpun tidak sanggup)?
Jawaban dengan akal sehat : tentu lebih baik diberikan kepada kaum dhuafa yang lebih membutuhkan (para ustadz juga bilang, sebaiknya sumbangan diberikan kaum yang tak berpunya). Orang akan menganggap Anda gila, jika uang Rp 12 juta setiap tahun diberikan cuma-cuma kepada orang yang sudah kaya (yang sanggup membeli mobil).
Problemnya : yang terjadi di negri ini, uang Rp 12 juta atau Rp 1 juta per bulan itu, selalu diberikan kepada orang yang sudah kaya dan punya mobil. Dalam bentuk subsidi BBM.
Dan mungkin sebagian besar dari Anda menerima uluran sumbangan itu. Tanpa rasa dosa.
Look. Negara ini sudah punya hutang Rp 3000 triliun. Namun dengan santainya, setiap tahun diberikan subsidi BBM yang tahun ini diperkirakan tembus Rp 285 triliun (tahun depan akan tembus Rp 300 triliun). Alamaaak.
Dan sebagian besar, hingga 90%, subsidi bensin itu dinikmati oleh orang kaya (yang punya mobil dan sepeda motor). Dan hanya 10% yang benar-benar dinikmati oleh orang dhuafa (definisinya adalah yang beli sepeda motorpun tidak sanggup).
Ajaibnya, saat subsidi BBM yang tidak adil itu akan dicabut, muncul protes bahwa tindakan itu amat tidak berpihak pada rakyat kecil. Rakyat kecil dari Hongkong?
Dari paparan diatas yang sebenarnya terjadi adalah ini : subsidi BBM justru merupakan bentuk ketidakadilan ekonomi yang cetar membahana.
Mempertahankan subsidi BBM justru merupakan penistaan terhadap hak kaum dhuafa yang tidak pernah sanggup membeli sepeda motor. Sebab, mempertahankan subsidi BBM justru memberikan sumbangan gratis jutaan rupiah per bulan kepada jutaan pemilik mobil yang sudah kaya.
Sumbangan Rp 1 per bulan itu dengan asumsi para pemilik kendaraan bermotor (mobil terutama) menghabiskan 100 liter per bulannya (100 liter x subsidi Rp 5000 = Rp 1 juta).
Terus terang dada saya agak sesak setiap kali di SPBU melihat mobil Avanza, Ertiga, Honda Jazz, bahkan Fortuner dan CRV dengan tanpa dosa membeli bensin premium atau solar subsidi (saya sendiri sejak 7 tahun lalu selalu membeli pertamax. Malu saja wong sanggup beli mobil kok masih beli bensin subsidi.)
Jutaan pemilik mobil dan juga sepeda motor itu lalu secara kolektif menenggak subsidi bensin dan solar senilai Rp 285 triliun per tahun. Angka yang fantastis.
Kalau saja uang subsidi Rp 285 triliun itu dihentikan; dan lalu dialokasikan ke sektor lain, maka ini yang bisa dibangun :
Rp 285 triliun bisa buat membangun ruas jalan tol Lintas Sumatra, Lintas Kalimantan dan Lintas Papua sekaligus (bayangkan efeknya bagi kemakmuran bangsa, dibanding diberikan secara gratis kepada orang kaya pemilik Fortuner dan Pajero).
Rp 285 triliun bisa buat membangun 10 MRT sekaligus di semua
Rp 285 triliun bisa buat membangun 28 ribu gedung sekolah terpadu di pelosok Nusantara (bayangkan dampak dashyatnya bagi kemajuan warga Nusantara, dibanding dibuang percuma kepada jutaan pemilik mobil yang mayoritas ada di Jawa, lebih khusus lagi
Maka amat aneh jika penghentian subsidi BBM (dan mengalihkan ke sektor lain yang jauh lebih produktif seperti contoh diatas) disebut mengabaikan hak rakyat kecil. Kecuali jika definisi rakyat kecil itu adalah pemilik mobil Avanza, atau Pajero atau Fortuner.
Melihat besaran angka subsidi yang amat fantastik (tahun depan tembus Rp 300 T), maka soal ini sejatinya amat krusial untuk segera diselesaikan (dan jauh lebih mudah diatasi bila dibanding masalah korupsi). Yang diperlukan hanya ketegasan dan keberanian.
Menaikkan harga bensin dan solar (melalui penghentian subsidi BBM) juga akan memaksa penghematan energi minyak bumi. Dan ini soal penting, sebab cadangan minyak bumi dan gas Indonesia juga kian menipis. Padahal kita tahu, bensin plus solar BUKAN energi yang bisa diperbaharui (non-renewable energy).
Pakar energi juga menulis, pengembangan bahan bakar alternatif yang renewable (seperti bio etanol) hanya akan tumbuh jika harga BBM tidak lagi disubsidi.
Dengan harga BBM yang terkesan murah karena subsidi, maka para entrepreneur di bidang bio fuel TIDAK akan pernah termotivasi untuk mengembangkan bahan bakar alternatif karena harga pasti akan kalah bersaing dengan harga subsidi BBM. Karena ketidak-adilan harga yang semu itu, maka inisiatif mengembangkan bisnis energi terbarukan (green energy) hanya akan terus menjadi ilusi.
Melihat semua paparan diatas, maka siapapun presiden yang akan terpilih, soal penghapusan subsidi BBM ini merupakan PR pertama yang langsung harus diatasi pada bulan pertama setelah pelantikan (Oktober mendatang).
Seperti dalam tulisan saya sebelumnya, team Jokowi – JK sudah dengan tegas akan melakukan penghapusan subsidi BBM yang tidak rasional ini secara bertahap (dan mengalihkan dananya untuk membangun jalan raya, pelabuhan, listrik dan sekolah – yang jauh lebih produktif).
Kita menunggu sikap ketegasan serupa dari team Prabowo – Hatta (yang memang hingga minggu ini belum secara eksplisit memperlihatkan ketegasan dan keberanian untuk mengatakan Subsidi BBM akan dialihkan).
Kita layak mengenang ungkapan yang pernah disampaikan Deng Xiaoping (arsitek utama kebangkitan mencengangkan ekonimi China). Ia bilang, yang dibutuhkan untuk membangun kejayaan bangsa itu bukan visi dan misi. Tapi jalan raya, pelabuhan, listrik dan sekolah.
Dan percayalah, uang subsidi Rp 285 triliun itu memang jauh lebih bagus digunakan untuk membangun jalan raya, pelabuhan, serta gedung sekolah.
Dan bukan diberikan secara gratis kepada jutaan pemilik Avanza dan Fortuner yang melenggang tanpa dosa.
__._,_.___
Posted by: vmc_value@yahoo.co.id
Post a Comment