Oleh: Teddi Prasetya Yuliawan
OK. Indonesia NLP Society sudah berdiri hampir 7 tahun. Saya sudah belajar NLP hampir 9 tahun. Lalu apa? Apa yang saya pahami saat ini? Apa itu NLP? Apa manfaatnya? Bagaimana pengembangannya?
Inilah beberapa pertanyaan yang memicu saya untuk meneguhkan niat kembali menulis dan mengembangkan NLP. Niat yang makin kuat sepulang menikmati belajar bersama Michael Hall.
Apa itu NLP?
Ini adalah pertanyaan mendasar. Saya perlu tanyakan ulang pada diri saya dan rekan-rekan semua, sebab bisa jadi kita bicara soal NLP, tapi rupanya membicarakan makhluk yang tak sama. Lagipula, sebagai sebuah nama, NLP adalah sebuah nominalisasi. Ia kata benda, namun bukan benda. Maka kala kita sama-sama bicara NLP, bisa jadi kita sedang membicarakan hal yang berbeda.
Paling mudah menerangkan NLP adalah dari kata pembentuknya: Neuro-Linguistic Programming. Bahasa mudahnya, NLP adalah ilmu tentang pemrograman ulang pola-pola dalam system neurologi kita dengan menggunakan kecapakan berbahasa. Ya, kita memiliki program dalam diri. Dan program ini ada yang bermanfaat, adapula yang tidak. Yang bermanfaat kita bisa teruskan dan tingkatkan. Yang tidak, mungkin bisa kita hapus atau ganti dengan yang lebih baik.
Caranya?
Dengan memahami bagaimana neurologi kita bekerja.
Caranya?
Dengan memahami cara kerja buah dari prosesnya, yaitu pikiran dan perasaan. Maka dalam NLP, banyak dikenal istilah mind, state, dan feeling. Sebab sistem neurologi kita bisa dikatakan merupakan hardware dari pikiran dan perasaan. Sedang kondisi pikiran dan perasaan sendiri—yang biasa disebut dengan state—adalah penggerak perilaku. Menariknya, dari perilaku lah keluar hasil. Maka ada hubungan penting antara hasil, perilaku, dan state. Jadilah NLP ilmu penting untuk membantu kita mencapai hasil yang kita inginkan.
Lalu bagaimana mengelola pikiran dan perasaan?
Dengan memahami pemicunya, yakni pola-pola bahasa yang kita gunakan, kata-kata yang kita ucapkan. Bicara soal bahasa, tak hanya soal bahasa verbal, melainkan juga bahasa non verbal. Sebab pikiran kita, tidak bisa tidak merespon terhadap apa yang kita dengar. Maka tak heran semua ajaran agama berbentuk verbal, nasihat dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Belajar NLP memungkinkan kita menjadi komunikator yang sensitif dan efektif, sebab cermat betul memastikan orang lain memahami pesan yang ingin kita sampaikan.
Nah, sampai di sini, tampak ada 2 hal kala kita belajar NLP. Satu adalah tentang diri kita sendiri. Dua adalah tentang hubungan kita dengan orang lain. Saya sungguh tak ingin membuat rumit. Maka saya berniat menyederhanakan bahasan dengan menggunakan kerangka materi yang biasa saya gunakan dalam kelas-kelas aplikasi NLP saya, yakni Self Leadership Mastery dan Interpersonal Leadership Mastery.
Loh, NLP kok jadi kepemimpinan?
Ya, agar langsung terasa manfaatnya. Belajar NLP, hemat saya, pada dasarnya adalah belajar menjadi tuan bagi diri sendiri. Dalam bahasa lain, menjadi pemimpin atas diri sendiri. Dan belajar NLP, juga pada dasarnya adalah menjadi pemberi pengaruh yang baik bagi orang-orang di sekeliling kita. Dalam bahasa yang senada, menjadi pemimpin atas orang lain. Jadilah saya gunakan istilah Self Leadership dan Interpersonal Leadership. Saat menyoal kepemimpinan, kita tidak hanya bicara konteks pimpinan formal organisasi. Kita bicara memimpin meski tanpa posisi. Karena kita selalu memimpin, dimana pun, kapanpun. Kita tidak bisa tidak memimpin.
Maka dalam artikel berikutnya, saat membahas misalnya soal mind management, saya tidak hanya akan bicara teknik, atau sesuatu yang ngambang seperti emosi positif. Kita akan langsung bicara soal sabar, syukur, ikhlas, dll. Kesemuanya aplikasi, kita gunakan dalam keseharian.
Nah, ditunggu ya.
--
Salam Street Smart NLP!
Teddi Prasetya Yuliawan
Post a Comment