Posted in http://indonesianlpsociety.org
Discussed in idnlpsociety-subscribe@yahoogroups.com
Judul di atas mungkin mengingatkan Anda pada sebuah lagu. Lagu yang cukup populer beberapa tahun lalu, plus merupakan sedikit lagu yang saya sukai yang dinyanyikan oleh kalangan boyband. Maka sembari Anda mengingat bagaimana lagu tersebut dinyanyikan, plus merasakan suatu sensasi tertentu dalam tubuh dan pikiran Anda, saya akan menceritakan mengapa saya memilih tema cinta untuk artikel saya kali ini.
Ya, cinta adalah sesuatu yang unik untuk dibicarakan. Bukan saja ia adalah tema yang begitu marak dibahas dalam keseharian, ia adalah sebuah ranah yang seringkali dipahami secara parsial.
Saya teringat ajaran bijak dari Almarhum Buya Hamka, sang ulama fenomenal penulis Tafsir Al Azhar. Bahwa cinta memberimu energi, alih-alih melemahkanmu.
Walah, la saya jadi bingung ini. Yang saya tahu, kalau dulu saya atau teman-teman saya lagi jatuh cinta, maka pikiran melayang kemana-mana, tubuh terasa loyo, sehingga produktivitas malah menurun drastis. (nostalgia mode on...)
Lalu mengapa Buya Hamka malah mengatakan kalau cinta itu memberi energi begitu besar bagi kita? Seharusnya kalau punya energi segitu besar, maka bukannya loyo, justru kita bisa meningkatkan produktivitas berkali-kali lipat donk.
Lalu mengapa ada sepasang suami istri yang saling mencintai, lalu pada titik tertentu justru merasa kehilangan cinta dan memilih untuk bercerai? Padahal semestinya cinta memberi keduanya energi besar untuk mempertahankan rumah tangga, dengan berbagai romantika yang telah dibangun, apapun yang terjadi?
Nah, karena saya adalah NLPers, maka saya pun memulai perjalanan saya untuk mencari jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas dengan menggunakan khasanah NLP yang ciamik ini.
Apa sih cinta menurut NLP?
Walah, ya ndak tahu.
Kok ndak tahu?
La NLP itu siapa juga saya belum pernah ketemu. Maka bisa saya cerita dia punya pendapat apa tentang cinta?
Maka cara yang saya anggap paling mudah adalah dengan melakukan self modeling terhadap pengalaman cinta yang saya alami. Untuk memulai, saya pilih cinta yang saya rasakan pada mantan pacar saya, yang kini telah memberi saya 1 orang anak. Hehehe...
Saya ingat-ingat, saat saya jatuh cinta, sekarang, ada sebuah sensasi yang aneh dalam diri saya. Campuran dari rasa gembira, cemas, memiliki, semangat, dan lain-lain yang saya tidak bisa jelaskan satu per satu, kecuali bahwa saya mengetahui bahwa ia berbeda dari perasaan-perasaan lain.
Aha! Anda familiar dengan kalimat terakhir di atas, bukan?
Yes, cinta adalah sebuah state of mind. Sebuah kondisi pikiran-perasaan yang sensasinya terasa dalam tubuh sebagai hardware-nya.
Apakah hanya itu?
Mmm...saya pun kemudian mengajukan beberapa pertanyaan dengan kerangka Neurological Level. Dan wuih! Canggih betul! Rupanya cinta yang saya alami bukan sekeder sebuah state of mind yang berada di level behavior atau capability, melainkan jauh tinggi hingga level belief, identity, hingga spirituality.
Di level belief saya meyakini bahwa perasaan cinta yang saya semai bersama istri saya membuat hidup saya lebih hidup. Ia adalah sebuah program yang begitu kokoh, sehingga membuat saya menafikan berbagai hal lain yang memungkinkan saya tidak mencintainya. Semisal, berbagai hal yang kurang saya sukai sangat sulit untuk saya ingat-ingat, sementara hal-hal yang saya sukai begitu mudah saya ingat. Yang belakangan ini saya sering katakan pada teman-teman peserta di kelas Practicing NLP Course, bahwa kalau orang sudah cinta, maka ia seringkali lupa kalau suami/istrinya suka ngupil, bangun siang, malas gosok gigi, dan lain sebagainya. Hehehe...
Sementara itu, saya pun merasakan bahwa cinta memberi saya identitas diri. Saya adalah makhluk suami pecinta. Saking demikian, saya seringkali begitu mudah merasa bersalah ketika melakukan sebuah perilaku yang tidak masuk daftar perilaku seorang pecinta.
Namun demikian, ada lagi yang lebih tinggi. Sebuah level yang baru saya pahami kurang lebih setahun terakhir, saat saya mulai memahami perintah Tuhan yang mengatakan, “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Maka cinta saya pada istri saya adalah perwujudan ketundukan saya untuk beribadah kepada-Nya.
Walah, kok kayaknya berat beneeer ya?
Hehe...nggak kok. Ini sederhana saja. Sangat sederhana bahkan. Saya tuh begitu meyakini bahwa Tuhan itu Maha Besar, Maha Kuasa. Maka Dia jelas tidak mungkin iseng atau salah menjodohkan, sehingga saya saat ini menikah dengan istri saya. Dia jelas punya skenario yang mesti saya jalani, saya alami, sampai saat saya dipanggil di usai waktu nanti. Maka jika saya kemudian merasa berat, atau kesal, atau marah, atau hal-hal lain yang kurang nyaman saya alami dalam pernikahan saya, jelas ia disebabkan karena belum mampunya saya memahami skenario yang Dia ciptakan. Maka dari itu perintah-Nya untuk “hanya beribadah tanpa mempertanyakan mengapa” menjadi masuk akal. Sebab bertanya mengapa akan menggiring saya pada jawaban-jawaban yang belum tentu masuk akal dengan kapasitas berpikir saya saat ini. Namun seiring dengan perjalanan waktu, baru lah saya bisa memahaminya.
Eh, kok tiba-tiba sampai sini sih ngomongnya? Jadi caranya gimana donk biar bisa “everyday I love you”?
Tenaaang. Saya baru aja mau mulai nih.
Berdasarkan pemahaman di atas, maka saya pun sampai pada kesimpulan bahwa cinta adalah sebuah kondisi yang bisa dikendalikan. Sebuah kondisi yang tidak terjadi begitu saja, melainkan kita diberi kemampuan untuk mengontrolnya. Maka apakah kita mencintai atau tidak mencintai bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Ia adalah sebuah state of mind yang sejatinya kita ciptakan sendiri, dan karenanya bisa kita bangkitkan kembali saat ia mulai meredup.
Wah, mulai asyik nih. Gimana tuh caranya?
Mari kita selami sama-sama. Jika Anda mencintai seseorang karena apa yang ia lakukan dan Anda kecewa saat ia kemudian melakukan hal lain yang tidak Anda inginkan, maka cinta Anda berada di level behavior. Sesuai ajaran Om Robert Dilts, sebuah kondisi di satu level biasanya bisa dikendalikan oleh kondisi di minimal satu level di atasnya. Dalam konteks contoh ini, adalah level belief. Maka Anda perlu mengevaluasi kembali: apa yang Anda yakini tentang cinta? Apa yang cinta berikan pada Anda? Apa yang seharusnya Anda lakukan saat Anda mencintai?
Nah, sebuah pelajaran yang baru-baru ini saya pahami tentang cinta adalah: love is about giving. Meyakini bahwa cinta adalah soal memberi, saya pun jadi lebih mudah menyemai buah cinta saya setiap kali sebuah ujian datang. Sebab saya jadi tidak peduli pada apakah saya akan menerima sesuatu atau tidak. Kenikmatan saya datang dari apa yang saya berusaha berikan. Anehnya, saat saya berlatih melakukan ini, yang saya dapatkan pun jauuuuuh lebih banyak, dan jauuuuuh lebih nikmat!
Lalu, bagaimana donk kalau ternyata ada orang yang memiliki keyakinan tentang cinta yang membuatnya kurang fleksibel dalam mencintai?
Ya naik lagi deh, ke level identity. Silakan evaluasi identitas yang Anda pasang pada diri Anda. Masih terkait dengan pengalaman saya, karena saya mulai meyakini bahwa cinta adalah soal memberi, maka saya sebagai pecinta adalah seorang pemberi. Identitas diri saya adalah seseorang yang memang hanya fokus memberikan, tanpa peduli apa yang saya dapatkan. Saya adalah kantong bocor, yang memang sengaja saya bocorkan, agar saya tidak perlu menghitung-hitung berapa yang saya berikan.
Wuih, berat kah?
Ya, memang perlu latihan. Saya pun belum secara utuh, pun belum dalam semua konteks. Konon, orang-orang yang sudah mencapai level pencerahan sudah memiliki identitas seperti ini dalam semua konteks kehidupannya.
Nah, bagaimana kalau yang “bermasalah” adalah identitas dirinya?
Ya naik lagi, ke level tertinggi, spirituality. Dalam konteks kisah saya, saya pun mulai melatih diri untuk menginstal bahwa saya mencintai istri saya karena saya mencintai Tuhan. Saat Anda mencintai seseorang, bukankah Anda akan menjaga baik-baik sebuah barang yang ia titipkan pada Anda, apapun caranya? Itu baru orang. La kalau Anda mencintai Tuhan, bukankah Anda akan menjaga suami/istri yang Ia amanahkan pada Anda, apapun caranya? Beranikah Anda seenaknya meninggalkan titipan-Nya begitu saja? Apalagi jika Anda meyakini bahwa Ia Maha Mengawasi setiap hal yang Anda lakukan? Apalagi jika Anda juga meyakini bahwa Ia selalu punya maksud baik dengan memasangkan Anda dengan titipan-Nya?
Nah, kalau sudah begini, bukankah cinta adalah sesuatu yang mulia? Cinta bukan sekedar basa basi di lagu atau sinetron yang ujung-ujungnya hubungan fisik semata. Cinta meliputi segala hal yang saat ini ada dalam hidup dan kehidupan, yang merupakan titipan-Nya.
Tuing!!! Jreng!!!
AHA! Saya pun baru paham untaian hikmah dari Buya Hamka yang saya sebutkan tadi, bahwa cinta merupakan sebuah energi yang besar bahkan tak terbatas. Alih-alih loyo, cinta akan membuat seseorang selalu berada dalam state of mind terbaik, peak performance-nya untuk memberi tanpa pernah berharap menerima. Yang anehnya, saat hal ini dilakukan, ia justru tidak pernah berhenti menerima.
Ah, bukankah lagu Boyzone yang satu ini memang indah? Saya tidak tahu Anda, yang jelas energi cinta saya seolah mengalir tiada henti saat saya mendengarkannya berulang-ulang dalam diri saya.
Hmmm...
--
Salam Street Smart NLP!
Teddi Prasetya Yuliawan
Author of "NLP: The Art of Enjoying Life"
Founder of Indonesia NLP Society