Mitra komunikasi atau kepada siapa kita berkomunikasi mempengaruhi bahkan menentukan tehnik dan cara kita berkomunikasi. Berbicara dengan orang yang tertutup, sensitif dan cepat tersinggung, tentu berbeda jika kita berbicara dengan orang terbuka dan periang.
Jika kita sebagai seorang Manager yang membawahi tujuh anak buah yang berbeda sifat dan karakternya, maka untuk bisa mempengaruhi mereka agar peran kita sebagai Manager yang bekerja dengan dan melalui orang lain berhasil, maka kita harus berkomunikasi dengan tujuh cara yang berbeda pula.
Berbicara di depan para Manager yang semuanya berpendidikan tinggi, tentu akan berbeda jika kita berbicara di depan operator pabrik yang sebagian besar paling tinggi berpendidikan menengah atas.
Saya pernah mengikuti perjalanan seorang Direktur Operasi dari perusahaan di mana saya bekerja sebelumnya. Puluhan Salesman dan Helper berkumpul di sebuah Kantor Pusat Penjualan (di daerah di luar jawa) untuk mengikuti briefing dari Bapak Direktur. Para Salesman dan Helper membentuk barisan panjang di bagian depan, dan para Manager duduk di kursi menghadap ke arah mereka. Saya memilih duduk paling belakang. Setelah memakan waktu kurang lebih empat puluh lima menit, briefing dari Bapak Direktur selesai. Saya lalu mengamati apa yang saya telah tulis. Di situ ada kurang lebih lima puluh kata yang saya yakin tidak dimengerti oleh para salesman dan helper tersebut. Kata-kata itu antara lain: revenue, KPU, self confidence, qualified, substansi, strategi, goals dan banyak lagi. Mungkin Bapak Direktur lupa bahwa yang di depannya bukan Manager yang bisa ia ajak meeting di kantor, tapi adalah pelaksana/orang lapangan yang berpendidikan rendang. Briefing semacam ini, yang merupakan salah satu bentuk komunikasi dalam praktek, tentu tidak akan mencapai hasil yang maksimal, karena tehnik interaksi dan komunikasi yang diterapkan tidak sesuai dengan kebutuhan dari orang kepada siapa komunikasi dilakukan (Salesman dan Helper), karena membuat mereka tidak sepenuhnya mengerti tentang apa yang disampaikan.
Dalam program Effective Business Presentation kita pelajari bahwa sebelum presentasi dilakukan kita perlu melakukan Audience Analysis, yaitu mengenal siapa yang bakal menjadi audience kita, kepada siapa kita akan berbicara, yang menyangkut jabatan dan latar belakang pekerjaannya, tingkat pendidikannya, rata-rata usia, dan sebagainya.
Hal ini dilakukan agar kita bisa mempersiapkan diri untuk menerapkan cara dan tehnik presentasi yang sesuai dengan kebutuhan audience.
Seorang presenter akan lebih mudah menghadapi audience yang sifatnya homogen, misalnya semua audience Salesman, atau semua audience berpendidikan strata satu karena mereka semua dalah Management Trainee misalnya, tapi lain halnya jika komposisi audience yang heterogen, yang bervariasi baik dari aspek jabatan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya, yang mana tidak mudah bagi presenter untuk memuaskan semua pihak, lebih-lebih dalam hal memberi contoh pada saat menjelaskan sesuatu.
Ada sebuah petunjuk dalam presentasi yang menyebutkan bahwa jika kita menjelaskan sesuatu kepada audience usahakan disertai contoh, dan contoh tersebut sedapat mungkin yang dialami oleh audience.
Kalau audience ada yang dari pabrik abaj, dealer mobil, pabrik roti, pabrik minuman, asuransi, bank dan sebagainya?, contoh mana yang akan kita berikan, yaitu mencari contoh yang sifatnya umum yang kiri-kira dialami oleh sebagian besar audience.
Seorang Manager yang memberikan perintah kerja kepada anak buahnya, sebelum memberi petunjuk cara melaksanakan tugas yang diperintahkan, harus bertanya terlebih dahulu apakah karyawan yang bersangkutan sudah pernah dengar, atau sudah pernah tahu, atau bahkan sudah pernah mengerjakan pekerjaan tersebut sebelumnya. Jika sudah pernah maka cara dan tehnik menjelaskan tidak terlalu rinci, tapi jika karyawan yang bersangkutan sama sekali belum pernah mengerjakan, bahkan belum pernah mendengar sama sekali tentang pekerjaan tersebut sebelumnya, maka proses mengerjakan pekerjaan (Operating Procedures – SOP) harus dijelaskan secara pelan dan rinci.
Jadi cara dan tehnik memberi perintah kepada orang yang berpengalaman dan kepada orang yang belum berpengalaman tentu berbeda.
Dalam sebuah program pelatihan yang tentunya diikuti oleh banyak peserta, kita biasanya menghadapi banyak dan bermacam-macam polah tingkah peserta yang berbeda, yang harus kita hadapi dengan vara yang berbeda pula. Ada peserta yang super aktif, dan jika ada pertanyaan, ia selalu mengacungkan tangan. Ada pula perserta yang diam dan tidak bergembing walau ada halilintar menyambar. Sebagai Trainer tentu kita harus memiliki cara dan tahnik interaksi dan komunikasi yang efektif dalam menangani dua sikap ekstrim ini.
Yang pertama yang harus kita ketahui adalah apa sebenarnya yang menyebabkan peserta tersebut bersikap demikian. Katakanlah yang super aktif, mungkin karena ingin pengakuan (recognition seeker), sedangkan yang diam, karena tidak memiliki rasa percaya diri (self confidence). Yang sering dilakukan jika menemui kasus seperti ini adalah memberikan pertanyaan yang relatif mudah dan pasti bisa dijawab kepada peserta yang diam dan pemalu, dengan harapan rasa percaya dirinya akan timbul setelah ia ternyata bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, yang selanjutnya mendorongnya untuk berpatisipasi aktif. Sedangkan untuk yang super aktif, kita cukup melihat dan meliriknya (karena ia hanya ingin pengakuan), yang berarti dkita sudah tahu kalau ia mengacungkan tangan, tapi bukan dia yang disuruh menjawab. Guna menghindari terkonsentrasinya orang yang aktif pada orang atau kelompok yang sama, maka kurangi melempar pertanyaan ke semua peserta (dengan mengatakan: Siapa yang bisa?), tapi tunjuk satu peserta untuk menjawab dan ini harus dilakukan sama rata ke peserta lainnya.
Sumber: Your Words, Your Power. Berkata Baik dan Benar atau Diam
Post a Comment