Mungkin Bukan Takut Gagal Tapi Takut Berhasil
Ini mungkin sering terjadi pada diri kita. Kita menginginkan sesuatu dan kita merasa sangat menginginkannya. Kita tahu dan kita yakin bahwa kita mampu. Kita paham betul bagaimana cara menuju ke
Tapi, tak lama setelah kita memulai perjalanan, entah mengapa tiba-tiba kita berhenti dan kembali ke titik awal lagi. Kita kembali ke cara kerja dan kebiasaan lama. Terus begitu, berulang-ulang seperti lingkaran yang tak ada habisnya. Ciri khas dari fenomena ini adalah perilaku menunda-nunda. Kita menjadi penunda-nunda keberhasilan diri kita sendiri.
Kita perlu tahu, bahwa yang kita khawatirkan bukan lagi kegagalan. Justru, kita sedang takut akan keberhasilan. Kita takut berhasil.
Takut dan gagal mungkin bisa hidup bersama di dalam satu tubuh. Tapi takut dan berhasil, tidak bisa.
Kita tidak pernah memutuskan segala hal berdasarkan realitas yang sesungguhnya. Kita memutuskan segala hal lebih banyak berdasarkan keyakinan kita tentang realitas yang sesungguhnya. Begitu pula, ketika kita memutuskan untuk berhasil. Pertanyaannya adalah, apakah segala keyakinan kita memang telah mendukung kita untuk berhasil?
Takut gagal adalah fenomena yang mudah diidentifikasi. Takut berhasil, lebih sulit diidentifikasi sebab biasanya berakar pada berbagai bias konsepsi dan keyakinan di tingkat bawah sadar.
Bukanlah keberhasilan itu sendiri yang kita takutkan, tapi biasanya efek samping dari keberhasilan-lah yang kurang kita perhitungkan.
Takut gagal menyebabkan kita berupaya keras memenuhi syarat dan standar eksternal, yaitu syarat dan standar dunia luar yang bukan ditetapkan oleh diri kita. Takut berhasil membuat kita terus berupaya menghindari syarat dan standar internal diri kita sendiri.
Takut gagal adalah tentang diri kita yang belum "doing the right things". Takut berhasil adalah tentang diri kita yang belum "doing the things right".
Takut gagal bermuara pada penghindaran tindakan. Takut berhasil lebih berbahaya, ia bermuara pada sabotase diri.
Apa penyebab dari ketakutan akan keberhasilan?
Berikut ini adalah bentuk-bentuk salah konsepsi dan salah keyakinan yang memunculkan ketakutan akan keberhasilan. Dan ini, mungkin sekali jarang kita sadari.
1. Trauma dari masa lalu. Secara fisiologis, sangat mungkin rasa dari keberhasilan adalah sama dengan rasa kegagalan. Ini sering diungkapkan oleh para psikolog yang berkutat dengan fenomena traumatik. Banyak uang dan pernah dirampok, bisa memunculkan gejala ini.
2. Prinsip hidup. Bawah sadar kita terlanjur berlebihan dalam memegang prinsip "pantang menyerah" alias "pantang putus harapan". Tidak menyerah atau putus harapan, adalah prinsip positif yang pantas kita pegang erat-erat. Prinsip ini berlaku di sepanjang perjalanan kita menuju keberhasilan. Dan secara alamiah, ketika harapan itu tercapai, harapan itu kita anggap "otomatis" menjadi tidak diperlukan lagi. Maka, ketika kita membayangkan keberhasilan, pikiran bawah sadar kita dapat menjadi rancu dan mempersepsi keberhasilan di masa depan itu sebagai sesuatu yang identik dengan melepaskan harapan yang ada di hari ini. Padahal, harapan tak boleh kita lepaskan hari ini, dan ketika keberhasilan tercapai, maka harapan baru mestinya ditumbuhkan. Harapan lama tidak pantas hilang, melainkan tumbuh.
3. Orang tua dan yang dituakan. Rasa hormat kita kepada orang tua, dan kewibawaan mereka masih berpengaruh kuat pada diri kita yang telah dewasa, dalam cara yang masih sama dengan pengaruhnya ketika kita masih anak kecil. Rasa hormat dan kewibawaan itu, telah mencetak kita untuk selalu memposisikan diri sebagai inferior ketika dikaitkan dengan mereka. Ini, juga berlaku untuk kita yang mempunyai saudara yang lebih tua atau yang lebih kita hormati. Kita perlu mencari cara, agar rasa hormat kita dan kewibawaan mereka tetap bisa kita hidupkan, tapi juga dengan cara yang lebih menghargai kedewasaan kita. Sebagai negeri timur, Indonesia kental sekali dengan fenomena ini, sehingga di negeri ini kita mengenal istilah "urut kacang" atau "sesepuh".
4. Pergeseran tanggung jawab. Sukses dapat menakutkan, ketika kita menimbang-nimbang beratnya tanggung jawab yang melekat pada keberhasilan. Kita mungkin mempersepsi keberhasilan sebagai pergeseran diri yang menjadi lebih pandai, lebih bijak, lebih cerdas, lebih mampu, dan sebagainya, yang langsung atau tidak langsung diikuti oleh makin besarnya tanggungjawab, tantangan dan persoalan. Itu sebabnya di Workshop E.D.A.N. sering hadir para petinggi yang kikuk ketika harus public speaking atau memimpin.
5. Prinsip Win-Lose. Kita mungkin berkeyakinan bahwa keberhasilan kita pastilah mengorbankan orang lain. Keberhasilan kita, kita yakini tercapai bersamaan dengan terjadinya kegagalan pada diri orang lain. Kita terlanjur meyakini bahwa sisi lain dari keberhasilan (diri), pastilah kegagalan (orang lain). Padahal, saat belum berhasil kita tidak boleh menyalahkan, dan saat berhasil kita tidak boleh merasa bersalah.
6. Proses kreasi. Kita mungkin berkeyakinan bahwa keberhasilan adalah hasil dari proses kreasi. Maka mungkin tanpa kita sadari, kita meyakini, bahwa jika sesuatu tercipta maka sesuatu yang lain dihancurkan.
7. Sisi gelap diri. Sebagaimana yang disinyalir oleh para pakar, setiap keberhasilan akan memunculkan sisi gelap dari si pencapai keberhasilan. Apakah sisi gelap itu muncul oleh dirinya sendiri, atau ia muncul oleh fokus lampu sorot yang makin terang dan makin tajam diterpakan kepada dirinya dari segala arah, atau oleh berbagai pengistimewaan yang diciptakan oleh sudut-sudut segi tiga kapitalisme yaitu uang, kekuasaan dan privilege. Banyak harta itu melenakan. Berjabatan tinggi bisa gila hormat.
8. Motivasi awal. Apa motivasi awal kita untuk berhasil? Mungkin itulah yang menjadi sebab hadirnya bayang-bayang ketakutan akan keberhasilan. Misalnya, kita mungkin mematok tujuan keberhasilan sebagai sebentuk dendam atau kemarahan. Kita ingin menghukum orang lain dengan keberhasilan kita. Padahal jauh di dasar hati, setiap kita adalah manusia yang baik. Waspadalah dengan kalimat ini, "awas ya, suatu saat..."
9. Efek samping cinta. Cinta orang tua dan lingkungan kita mungkin justru memunculkan dampak lain. Perlakuan mereka yang penuh cinta dan pemanjaan, tanpa kita sadari membangun keyakinan bahwa keberhasilan identik dengan kenyamanan. Padahal, hidup adalah ujian dan perjuangan.
10. Kompetisi. Kita mungkin mengejar keberhasilan dengan cara pandang berkompetisi dengan orang lain dan dunia. Padahal, kita mestinya berkompetisi dengan diri sendiri. Saya yang besok lebih baik dari saya yang hari ini, dan saya yang hari ini lebih baik dari saya yang kemarin.
11. Keyakinan dasar. Kita mungkin berkeyakinan, bahwa menjadi berhasil adalah sama dengan masuk surga dengan merangkak, seperti kita salah memaknai kisah Abdurrahman bin Auf. Semakin berhasil, maka semakin detil perhitungan dan pertanggungjawaban, itu benar. Tapi jika semua itu baik, maka semakin besar pula kebaikan kita.
12. Beban lingkungan. Kita mungkin merasa bahwa jika kita berhasil, maka akan semakin banyak orang bergantung kepada kita, dan itu adalah sesuatu yang memberatkan. Sekali lagi, ini kental di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi kekeluargaan.
13. Kesepian. Kita mungkin merasa takut kesepian, sebab orang yang berhasil jumlahnya selalu lebih sedikit dari jumlah orang yang kurang berhasil. Padahal, ini kenormalan dari kurva normal dan hukum alam yang tak bisa ditentang.
14. Kerja keras. Kita mungkin beranggapan bahwa sukses adalah kerja keras (dan kita tidak menyadari bahwa kita telah membuatnya lebih keras dari yang semestinya). Padahal, kerja itu bukan hanya keras tapi juga cerdas. Istilah efektif dan efisien tidak diciptakan tanpa maksud.
15. Proyeksi. Kita mungkin berkeyakinan bahwa mencapai puncak adalah mudah, tapi bertahan tetap di sana adalah susah, dan jatuh dari ketinggian pastilah sangat sakit. Padahal, di tempat yang tinggi kita bisa tetap aman.
16. Persepsi tentang dunia. Kita mungkin berlebihan dalam memandang bahwa dunia ini adalah permainan dan senda gurau. Padahal, di dunia ini kita tetap mempunyai tugas suci. "Dunia adalah bangkai" tidak boleh ditelan tanpa pemahaman yang cukup sebab setiap nasehat yang baik selalu dinyatakan dalam konteks tertentu. Apa yang termasuk paling penting di dalam hidup ini adalah kecerdasan konteks.
17. Ketergantungan. Kita mungkin telah terlanjur sangat tergantung pada orang lain. Kita kurang mandiri. Padahal, berhasil adalah bentuk kemandirian, sendiri atau bersama-sama.
18. Medan perang. Kita mungkin merasa, bahwa dengan berhasil kita akan menambah jumlah musuh atau orang lain yang iri dan dengki. Ini benar, tapi sekali lagi ini juga hukum alam yang tidak bisa ditentang.
19. Privasi. Kita mungkin merasa bahwa dengan menjadi berhasil privasi kita nanti akan terganggu. Ada benarnya, tapi tidak selayaknya menjadi hambatan, sebab belum berhasilpun privasi kita juga sudah sering terganggu, misalnya jika kita masih menjadi bawahan orang.
20. Start all over again. Kita mungkin merasa, bahwa setelah berhasil kita akan diharuskan memulai segala sesuatunya kembali dari awal dengan lebih berat dan makin penuh tantangan. Ini benar, tapi ini juga hukum pertumbuhan yang harus diikuti jika kita memang ingin tumbuh.
21. Bawah sadar. Takut sukses adalah fenomena bawah sadar. Kita mungkin tidak pernah bertanya kepada bagian bawah sadar dari diri kita. Sebenarnya, ia banyak tahu tentang segala kekhawatiran kita. Bertanyalah kepadanya dan mintalah ia mencarikan ilham dan inspirasi untuk kita.
Bagaimana mengurangi ketakutan akan keberhasilan?
Satu hal penting yang perlu kita pahami terkait kegagalan dan keberhasilan, adalah kenyataan bahwa keduanya adalah tentang perubahan. Gagal adalah kondisi perubahan, dan keberhasilan demikian juga. Ketakutan kita akan kegagalan dan ketakutan kita tentang keberhasilan, pada dasarnya adalah ketakutan akan perubahan. Bedanya, yang satu mudah diidentifikasi, dan satunya lagi lebih sering tersembunyi.
Maka, berikut ini adalah cara yang terbilang mudah untuk mengurangi ketakutan akan keberhasilan, sebagaimana yang sering dianjurkan oleh para pakar.
Mulailah dengan menyiapkan selembar kertas dan alat tulis untuk mengoret-oret. Tulislah tujuan, cita-cita, atau keinginan kita di bagian atas kertas. Lalu tuliskan pertanyaan-pertanyaan berikut ini dan sekaligus jawablah.
"Apa yang akan terjadi jika saya berhasil mencapainya?"
Tulislah sebanyak mungkin hal yang dapat kita proyeksikan alias mungkin terjadi, muncul, atau tercipta, dan bagilah menjadi dua kelompok besar (kita bisa melakukannya dengan membuat sebuah tabel dua kolom). Kelompok pertama adalah hal positif dan menyenangkan, dan kelompok kedua adalah hal negatif dan tidak menyenangkan.
Untuk masing-masing poin dalam dua kelompok itu. Mulailah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini.
"Apakah saya yakin tentang hal ini?"
"Dari mana keyakinan saya ini muncul?"
"Dari siapa keyakinan ini datang?"
"Apa rasanya mengingat orang itu kembali?"
"Apa niat saya di ballik keyakinan ini?"
"Apakah niat itu valid dan dapat dibenarkan?"
"Terkait dengan proyeksi ini, harapan apa yang dapat saya hidupkan sebagai kelanjutannya?"
"Best way to predict the future is to create it."
-Peter F. Drucker-
Artinya, kita harus mengkreasi masa depan sekarang. Seperti juga ketakutan akan kegagalan, ketakutan akan keberhasilan adalah kekhawatiran yang berlebihan (meskipun tidak kita sadari) tentang masa depan. Kekhawatiran itu lebih pantas kita selesaikan sekarang, dengan meng-ekologis-kan segala konsepsi dan keyakinan.
Dan jika kita mesti bekerja keras untuk mencapai keberhasilan, maka kerja keras itu harus kita lakukan sekarang dengan menggali bawah sadar sedalam mungkin guna menemukan penghambat-penghambat yang tersembunyi.
Semoga setelah ini, kita menjadi lebih mudah berhasil.
Ikhwan Sopa
Post a Comment