Oleh: Franz Magnis-Suseno
Pidato Soekarno muda pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Tulisan ini mau mengangkat dua unsur hakiki di dalamnya: kebangsaan
Kebangsaan
Dalam pidatonya, Soekarno mengingatkan sesuatu yang merupakan kunci untuk mengerti mengapa
Kebangsaan
Namun, kebangsaan
Namun, di Indonesia kebangsaan sudah nyata 17 tahun sebelum kelahiran negara. Sumpah Pemuda 1928 membuktikan bahwa perasaan "kami ini bangsa
Kekuatan rasa kebangsaan itu membuktikan diri tahun 1998. Omongan sesudah runtuhnya Orde Baru tentang bahaya disintegrasi-mirip Uni Soviet dan Yugoslavia-tidak pernah punya dasar nyata (dengan kekecualian dua provinsi di ujung barat dan timur
Kekuatan kesadaran kebangsaan kelihatan dari kenyataan bahwa mainstream agama-agama di Indonesia kokoh nasionalis. Berhadapan dengan radikalisme agama yang meremehkan kebangsaan dan semakin juga segala rasa kemanusiaan, kenyataan itu merupakan modal sosial amat penting bagi masa depan
Pancasila
Akan tetapi, rasa kebangsaan hanya akan dapat dipertahankan kalau satu syarat dipenuhi. Yaitu bahwa kita bersedia saling menerima dan saling mengakui dalam kekhasan kita masing-masing.
Indonesia hanya dapat tetap kuat apabila saudara sebangsa yang Muslim tidak perlu kurang Muslim, yang Katolik tidak perlu kurang Katolik, yang Toraja tidak kurang Toraja, dan penganut Kejawen tidak perlu menyembunyikan penghayatannya karena mereka semua bangsa Indonesia.
Kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan itulah merupakan komitmen inti bangsa
Kiranya yang dimaksud Soekarno adalah yang kebalikan: "Gotong royong" atau kebersamaan kita sebagai bangsa
Akan tetapi, Pancasila sekarang dalam bahaya.
Kalau Ketuhanan Yang Maha Esa dikebiri berlaku hanya bagi "enam agama yang diakui"-Pancasila tidak mengenal "agama yang diakui"- dan yang berkeyakinan lain oleh negara dibiarkan diganggu, diuber-uber, dan bahkan dibunuh, kalau kampanye politik memanfaatkan perbedaan antara "penduduk asli" dan "pendatang", kalau orang karena beribadat berbeda dicap "ajaran sesat", roh Pancasila dilanggar keras dan kesatuan Indonesia terancam.
Ketuhanan Yang Maha Esa menuntut agar kita menghormati keyakinan religius segenap tumpah darah Indonesia, entah kita sendiri setuju dengan keyakinan itu atau tidak. Dalam hal keyakinan berhadapan dengan Yang Mutlak tak ada mayoritas-minoritas. Dan, negara wajib melindungi semua.
Aktualitas Pancasila
Pertimbangan ini sudah memperlihatkan bahwa Pancasila hanya akan menjalankan fungsinya kalau kita tidak memperlakukannya sebagai pusaka kuno yang disimpan dalam lemari. Aktualitas Pancasila tampak begitu kita menghadapkannya terhadap tantangan-tantangan yang dialami bangsa Indonesia sekarang. Kita harus konsisten.
Kita bicara Ketuhanan Yang Maha Esa serta Kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi kita dikelilingi oleh kekerasan, ancaman, kebrutalan, intoleransi, oleh kesombongan yang mau memaksakan kepada saudaranya bagaimana ia harus berketuhanan dan bagaimana tidak. Tekad untuk selalu membawa diri secara beradab mesti merasuk ke dalam keyakinan, hati, dan perasaan kita.
Kita sudah memasukkan hak-hak asasi manusia ke dalam undang-undang dasar supaya harkat kemanusiaan kita semua terlindung dalam hidup bersama kita, tetapi kita masih mengizinkan hak-hak kemanusiaan paling dasar dilanggar.
Sila tengah, Persatuan Indonesia, semakin terancam oleh ekstremisme keagamaan di satu pihak dan di lain pihak oleh hedonisme konsumeristik yang mendesak ke samping solidaritas dan rasa keadilan serta melupakan komitmen pada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita telah membangun demokrasi sesudah 39 tahun pemerintahan otoriter, tetapi sekarang kelas politik yang menguasainya semakin dipersepsi sebagai sebuah elite feodal yang, seperti dulu, melayani diri dari milik bangsa dan hasil keringat rakyat.
Pancasila sebagaimana dicetuskan 70 tahun lalu oleh Soekarno adalah suatu masterpiece, tetapi masterpiece itu hanya dapat mempersatukan bangsa Indonesia kalau kita memberi komitmen tanpa ragu kepada tuntutan-tuntutannya.
(Franz Magnis-Suseno; Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta, Kompas, 5 Juni 2015.)
=====
Menggali arti dan pemahaman Pancasila itu seharusnya menjadi kewajiban bagi setiap insan di Indonesia.
Entah itu ia seorang nasonalis, agamis, sosialis ataupun seorang Pancasialis sekalipun, itu tidak menjadi soal. Asalkan dalam prakteknya kehidupannya ia tidak menyelewengkan haknya atau bahkan melanggar ataupun mengganggu hak orang lain. Sehingga sebisanya toleransi dalam kehidupan saling dijunjung tinggi-tinggi.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.
Best Regards,
Retno Kintoko
Post a Comment