On Behalf Of poedjiati tan
Pernahkah Anda memerhatikan reaksi seorang anak ketika orangtuanya—terutama ibunya memarahinya supaya tidak nakal, kalau tidak ia akan ditangkap polisi?
Ketika ia tidak menghabiskan makanannya ia akan disuntik dokter?Dilarang berisik—ketika si anak bernyanyi dengan suara keras dan nada falas: Diam, suaramu jelek tahu?Jangan berlari-lari, nanti kakimu patah?Jangan memanjat pohon, nanti kau jatuh dan mati? Jangan main di luar, sudah magrib, nanti kamu diculik Kuntilanak?
Di kemudian hari, walaupun anak tersebut telah dewasa, ia akan tetap percaya bahwa ia harus selalu menjaga perilakunya dan merasa diawas-awasi oleh polisi atau otoritas (kalau di tempat kerja ia merasa selalu diawasi oleh superiornya).
Ia akan selalu menghabiskan makanannya walaupun sudah tidak berselera, sebab ia takut disuntik dan tidak suka berurusan dengan dokter.
Ia tidak akan pernah serius belajar menyanyi, walaupun tahu bahwa menurut fakta orang bisa belajar menyanyi seperti halnya mempelajari keterampilan lainnya.
Ia tidak berani berlari kencang, bukan apa-apa, hanya merasa tidak nyaman saja. Dan karena tidak pernah dilatih, kakinya menjadi tidak kuat, kalau berlari ia merasa cepat lelah.
Ia tidak pernah memanjat pohon, buat apa, toh ia tak akan merasa senang melakukannya? Lagi pula bagaimana mungkin ia tahu serunya memanjat pohon, jika ia tak pernah melakukannya di masa kanak-kanak hingga remaja?
Ketika magrib menjelang, ia merasa tidak tenteram, walaupun ia tahu tidak ada Kuntilanak.
Sekilas Anda boleh berpikir bahwa orang-orang yang di masa kecil sering diancam tersebut percaya pada hal-hal ‘non-sense’ seperti disebutkan di atas. Tetapi dengan bertambahnya usia dan pengetahuan, seharusnya mereka sudah tahu bahwa hal-hal yang dikatakan orangtua mereka dahulu itu tidak benar.
Secara realita orang tidak perlu merasa takut pada polisi ataupun otoritas. Orang tidak akan sakit hanya disebabkan tidak menghabiskan makanan yang tidak lezat menurut perasaannya, dan jika ia sakit, ia tak perlu takut berurusan dengan jarum suntik atau takut pada dokter. Toh tidak setiap kali sakit harus disuntik, bukan?
Dan sudah disebutkan menyanyi dapat dipelajari. Demikian pula keterampilan berlari cepat dan memanjat pohon. Mereka tidak melakukan hal-hal tersebut bukan karena mereka percaya, tetapi suara dengan nada dan intonasi tertentu mencegah mereka melakukannya. Bisa juga ekspresi wajah orangtua mereka terbayang. Atau ingatan kinesthetik (misalnya sambil mengucapkan ancaman orangtua juga mencubit, menampar, dan memukul. Dalam terminologi NLP hal ini disebut terjangkar.
Jangkar tersebut berada di kedalaman pikiran kita dan mengingat pikiran tidak langsung terhubung dengan realita melainkan melalui representasi internal, maka walaupun pikiran logika tahu hal-hal yang dihindari tersebut non-sense, tetapi tetap saja berkuasa menghentikan orang tersebut melakukannya.
Apa itu representasi internal?
Istilah ini sebenarnya berarti pancaindera internal. Kita melihat dengan alat penglihatan dan membuat imaji dalam pikiran. Kita mendengar dengan alat pendengaran dan membuat audio dalam pikiran. Kita merasakan atau mengalami suatu kejadian pada tubuh kita dan menyimpan ingatan menurut peta atau persepsi kita. Demikian pula kita mencium dan mengecap kemudian menyimpan suatu ingatan yang hanya kita sendiri yang dapat merasakannya tanpa mampu menjelaskannya kepada orang lain.
Singkatnya, kita mengalami segala sesuatu yang berlangsung di lingkungan kita dan menciptakan representasi dalam pikiran kita. Dan kita menggunakan representasi tersebut untuk memberi makna kepada pengalaman-pengalaman selanjutnya.
Maka dari itu rasionalisasi kurang efektif untuk mengubah representasi internal kita. Sebagai contoh, A selalu merasa gugup ketika atasannya—otoritas, berada di ruang kerja. Tanpa sadar ia mengharapkan atasannya menemukan kesalahan yang dilakukannya. Sebab dalam representasi internalnya otoritas identik dengan pencari kesalahan dan pendera orang yang sebenarnya tidak bersalah.
Ketika atasan menatap dengan cara tertentu, berbicara dengan nada tertentu atau cukup berdiri di belakangnya sudah dapat memicu jangkar dan menghidupkan ingatan di masa kecil, ketika ia merasa terancam dan tidak berdaya.
Supaya A dapat terbebas dan meningkatkan rasa percaya dirinya, maka jangkar yang terjadi di masa kanak-kanak tersebut perlu diangkat ke permukaan—pikiran sadar dan kemudian ditimpahi dengan jangkar yang menyemangatinya.
Contoh lain bagaimana perlakuan orangtua dapat meninggalkan luka batin yang berakibat buruk dialami oleh Sarah (bukan nama sebenarnya). Suatu hari Sarah yang berumur 12 tahun itu sedang bermain ‘go back the door’ yang kemudian dijawakan gobag sodor bersama anak-anak tetangga lainnya. Tanpa sepengetahuannya, ibunya yang baru pulang kerja lewat di tempat mereka bermain. Tanpa sepatah katapun, Sarah digebuk dengan payung panjang yang dibawa ibunya, di hadapan teman-teman bermainnya. Sarah merasa ‘kehilangan muka’, malu bukan main diperlakukan demikian oleh ibunya di depan umum. Sambil berusaha menahan air matanya, ia berlari pulang mendahului ibunya.
Sesampai di rumah, ibunya masih memarahinya dengan kata-kata pedas. Sarah dikatakan tidak tahu diri, sudah besar masih bermain-main, bukannya membantu bekerja di rumah. Sarah juga dikatai tidak tahu malu karena bermain-main dengan anak-anak dari keluarga strata ekonomi kelas atas. Karena pengalaman itu, Sarah tidak pernah mampu menikmati permainan apapun. Dua puluh tahun kemudian, Sarah telah menjadi eksekutif dan hidup berkecukupan, dan ia ingin merasakan kesenangan bermain game online, tetapi ia tidak pernah mampu menikmatinya, rasa bersalah, rasa tidak layak dan tidak pantas menyebabkan Sarah merasa burn out, bukannya rileks seperti yang diharapkannya.
Sarah mengalami konflik internal antara rasa bersalah dengan kebebasan diri untuk menikmati hidup. Di satu sisi dirinya ingin bermain game, di sisi lain ia mendengar suara-suara ibunya mencela. Bila sedang sendirian, Sarah bermain Solitaire berjam-jam hingga ia merasa sangat lelah plus perasaan bersalah karena merasa telah membuang-buang waktu.
Sarah berputar-putar dalam lingkaran konflik untuk waktu yang cukup lama. Seorang NLP Practitioner berusaha membantunya, merasionalisasi bahwa tidak masalah orang bermain game di sela-sela kesibukan sepanjang tidak mengabaikan pekerjaan. Tetapi rasionalisasi saja tidak cukup menyentuh jangkar di kedalaman pikiran bawah sadarnya. NLP Practitioner tersebut menyuruh Sarah membayangkan sebuah jam weker, memintanya menyetel alarm selama ia ingin bermain, bila alarm berbunyi ia akan berhenti bermain. Sarah bahkan tak pernah ingat perintah itu begitu keluar dari ruang konseling.
Setelah dibantu dengan hipnosis oleh NLP Practitioner yang lebih berpengalaman, Sarah akhirnya berhasil menemukan jangkar negatif yang timbul karena peristiwa dipermalukan dan dimarahi ibunya di hadapan teman-teman bermainnya.
Setelah jangkar tersebut ditimpahi dengan jangkar positif, Sarah sekarang terbebas dari konflik internal yang dialaminya selama bertahun-tahun. Ia merasa bebas dan memegang kendali sepenuhnya. Tentu saja Sarah menjadi sangat efektif mengatur prioritas dan menikmati permainan game bila ia ingin bersantai sejenak. Efek dari terselesaikannya konflik internal yang baik, maka bagian yang selama ini memarahinya bermain game berhenti melakukan tugasnya, dengan sendirinya bagian yang lain pun tidak perlu lagi menunjukkan kekuasaannya, hasilnya lebih dari yang diharapkan, Sarah berhenti total bermain game.
Selain itu, ternyata peristiwa di atas juga menimbulkan satu masalah lain. Sarah merasa sulit mencapai kesuksesan financial. Sekeras apapun ia berusaha, sebanyak apapun uang yang dihasilkannya, uang selalu menyelinap pergi dari celah-celah jari tangannya. Sarah selalu merasa miskin, selalu merasa ketakutan tidak punya uang, akibatnya uang selalu menghindari dirinya, sebab uang tidak menyukai sikap seperti itu.
Ibunya telah menciptakan sebuah garis pemisah yang sangat nyata di bawah sadarnya. Mereka orang-orang yang tidak beruang, karena itu tidak perlu berteman dengan orang-orang kaya agar tidak diintimidasi. Tidak ada waktu yang boleh disia-siakan untuk bermain-main. Sarah harus bekerja keras dan upah dari hasil bekerja keras itu harus dihemat-hemat.Sarah memang sangat percaya diri dan terkenal sebagai pekerja keras yang selalu berkinerja tinggi.
Orang-orang memandangnya sebagai eksekutif perempuan yang sukses, tetapi di bawah sadarnya, Sarah selalu mengkhawatirkan situasi financial-nya. Untunglah, teknik NLP bekerja dengan prinsip gestalt: holistik, paralel dan analog. Kekuasaan Sarah mengendalikan pikirannya dalam hal bermain game berefek positif pula terhadap perubahan cara pandangnya tentang uang.
Tulisan ini juga ingin menyampaikan pesan bagi para orangtua dan pendidik. Hentikan perlakuan penuh kekerasan terhadap anak-anak. Indahkan hak-hak anak-anak. Mereka berhak mendapatkan perlindungan, kasih-sayang dan pendidikan yang akan membantu mereka tumbuh menjadi insan-insan berpotensi besar, bertanggung jawab dan berwelas-asih.Memilih cara gampangnya saja mendidik anak sungguh tidak bertanggung jawab.
Tak dapat dipungkiri kita adalah generasi yang diasuh dengan cara seperti itu, tetapi kita memiliki kesempatan jauh lebih luas dibandingkan orangtua kita, maka seharusnya kita belajar. Belum lama ini saya masih saja mendapati orangtua yang menakuti-nakuti anaknya.
Minggu pagi itu beberapa anak-anak berlarian sambil menjerit-jerit di selasar apartemen. Untuk menenangkan anak-anak itu, ibu mereka masih memilih cara gampang. “Husss! Jangan lari-lari, nanti dipukul satpam baru tahu rasa!” Di dalam ruang apartemen saya mendengar dengan jelas dan berandai-andai ibu itu berkata dengan nada lembut atau tenang: “Anak-anak, jangan berisik, tetangga kita mungkin masih tidur. Kita harus menghormati kepentingan tetangga kita.”
Cara pertama: Ibu tersebut menanamkan dalam ingatan anak-anak mereka bahwa satpam adalah figur yang harus ditakuti. Karena satpam umumnya berseragam, maka dalam representasi internal anak-anak tersebut kemungkinan besar akan terjadi generalisasi bahwa semua yang berseragam itu harus ditakuti. Selain harus merasa takut ucapan tersebut tidak mengandung unsur pendidikan.
Cara kedua: Ibu itu mendidik anak-anaknya menghormati kepentingan orang lain (tetangga). Anak-anak tersebut juga dididik membedakan kapan waktu bermain dan kapan waktunya untuk tenang (mungkin tetangga masih tidur, karena masih pagi).
Post a Comment