By. Nugroho Nusantoro
Saat ini Lion Air sedang menjadi perbincangan panas, bukan sekedar hangat lagi. Perbincangan tersebut terkait terlantarnya ribuan penumpang selama berjam-jam tanpa kejelasan maupun penjelasan. Sebuah pertunjukan buruknya pelayanan sebuah maskapai sedang dipertontonkan.
Beberapa teman meminta saya untuk memberikan opini terkait insiden ini. Mungkin karena sejak munculnya kasus ini pertama kali, saya belum memberi pendapat apapun, terutama melalui media sosial.
Baik. Mari kita coba telaah kasus ini dengan cepat, singkat padat. Kita akan melihatnya dari tiga sudut pandang .. atau empat deh, yaitu elemen service excellence yang paling serius dilanggar, mengapa maskapai yang terkenal dengan pelayanan ala kadarnya masih eksis, memandang budaya yang tersembunyi, dan kesempatan bisnis yang membentang.
Membicarakan service excellence maka kita perlu menggunakan sudut pandang yang pas. Salah satu sudut pandang yang bisa kita gunakan adalah 5P model. Model ini melihat bahwa sebuah bisnis yang prima harus selalu mampu tampil prima dalam lima hal, yaitu places (tempat), products (produk), processes (proses), problem solutions (pemecahan masalah), dan people (orang-orangnya). Lion Air dalam insiden di atas jelas melanggar hampir semua elemen 5P model. Namun, demi singkatnya pembahasan, kita akan lihat elemen yang paling serius dilanggar oleh maskapai tersebut. Elemen itu adalah P ke-empat, problem solutions (pemecahan masalah).
Dalam memecahkan sebuah masalah yang dialami oleh customer, kuncinya adalah segera, empatik, dan menyeluruh. Ribuan penumpang terlantar selama berjam-jam dan mereka kebingungan mendapatkan informasi apa yang sebenarnya terjadi dan kapan pastinya situasi tersebut akan berakhir jelas menunjukkan bahwa masalah yang ada tidak SEGERA diupayakan penyelesaiannya. Di dalam standar service excellence masalah yang dialami oleh customer bisa diukur derajat keseriusannya. Masalah yang menyebabkan customer kehilangan waktu adalah masalah yang masuk kategori PARAH, hanya satu tingkat di bawah derajat keseriusan tertinggi, yaitu kategori KATASTROPIK.
Mengelola masalah yang masuk kategori PARAH jelas memerlukan upaya yang sangat besar dan berhati-hati, bukan sekedar memberikan nasi kotak bila kita membicarakan insiden Lion Air ini. Referensi tindakan sebuah perusahaan dalam upaya menyelesaikan suatu masalah yang dialami penumpang, selain kategori keseriusan masalah, adalah emosi yang dirasakan penumpang. Bila Anda dalam perjalanan untuk mengikuti presentasi bisnis yang sangat penting dan ternyata Anda gagal hadir karena pesawat Anda ditunda dalam jangka waktu yang lama, seperti apa emosi Anda? Akankah kehadiran nasi kotak bisa menggantikan kekecewaan Anda? Akankah nasi kotak dan pengembalian uang tiket bisa mengobati sakit hati Anda sebagai seorang customer? Dalam kasus Lion Air ini, saya tidak yakin maskapai memiliki manajemen (solusi) masalah yang baik. Tanpa adanya manajemen masalah yang baik, sebuah perusahaan akan selalu kerepotan menangani masalah-masalah, terutama yang berkategori PARAH dan KATASTROPIK.
Sebuah masalah juga perlu diselesaikan secara menyeluruh, artinya tidak menyisakan masalah lain atau justru mendorong timbulnya masalah lain. Ketika para penumpang dijanjikan untuk segera terbang agar mereka tenang sedangkan hal tersebut sangat kecil derajat kepastiannya, maskapai sedang mengundang masalah baru. Itu bisa mendorong masalah yang sudah parah menjadi KATASTROPIK. Sebuah bisnis selayaknya tidak lagi menghitung untung rugi ketika sudah menghadapai masalah dalam kategori KATASTROPIK. Kepentingan customer yang harus dibela dan dipastikan keterpenuhannya. Bila ribuan penumpang sedang mengalami masalah yang PARAH atau bahkan sudah beranjak menjadi KATASTROPIK dan maskapai masih berhitung untung rugi, maka sebenarnya kita sedang berhadapan dengan perusahaan sejenis Enron (yang telah hancur) yang memandang customer HANYA sebagai dompet berjalan.
Mengapa perusahaan dengan pelayanan buruk seperti itu masih eksis?
Mungkin ada sahabat yang bertanya seperti itu. Jawabannya sederhana: keberadaan perusahaan yang mempunyai budaya pelayanan yang benar-benar ekselen masih sangat jarang. Sebagai seorang pendidik dalam bidang service excellence training saya hanya sedikit melihat perusahaan lokal yang mampu menjadikan service excellence sebagai competitive advantage mereka.
Service excellence adalah hal yang sangat besar dan tidak semua perusahaan mempunyai cukup ‘nyali’ untuk melakukannya. Yes. Service excellence is not for cowards. Perusahaan Anda adalah perusahaan pemberani, perusahaan yang progressive bila berani menjadikan service excellence sebagai tulang punggung bisnisnya.
Ketika perusahaan seperti itu belum banyak hadir, maka yang ada adalah kompetisi berdarah-darah ala lautan merah alias red ocean. Ketika service excellence belum banyak dipahami oleh rata-rata perusahaan maka HARGA TETAP MENJADI RAJA dan konsumen akan selalu menjadi hamba. Menyedihkan memang tetapi seperti itulah yang sedang terjadi. Situasi ekonomi yang masih belum stabil dan perusahaan-perusahaan yang tidak pernah memahami secara utuh apa pelayanan prima alias service excellence itu akan selalu membuat customer terlena oleh harga semata.
Sebenarnya customer bukan satu-satunya korban pada insiden Lion Air ini.
Insiden tetaplah insiden. Hal yang buruk selalu menyisakan banyak cerita dan pelajaran, salah satunya tentang kesempatan. Sering kali saya mengungkapkan bahwa di negeri kita tercinta ini service excellence masih berada dalam kondisi jauh panggang dari api. Ini sebenarnya merupakan sebuah kesempatan besar bagi para pebisnis, kecil, sedang, maupun besar. Dalam kondisi seperti ini, bila ada suatu bisnis yang mampu mengelola service excellence dengan layak, maka dia akan mampu menyeruak naik ke permukaan dan berpotensi menjadi kekuatan yang dominan. Ini adalah sebuah kesempatan. Kesempatan bagi perusahaan-perusahaan pemberani dan progressive.
Sekali lagi, service excellence is not for cowards.
Selamat menjadi (perusahaan yang) berani.